Rabu, 28 Juli 2021

Sejarah Ilmu Kalam

 1. Aqidah Islam Pada Masa Nabi

Ketika Nabi Muhammad Saw. masih hidup, umat Islam masih bersatu-padu, belum ada aliran-aliran/firqah. Apabila terjadi perbedaan pemahaman terhadap suatu persoalan, maka para sahabat  langsung  berkonsultasi kepada Nabi. Dengan petunjuk Nabi   tersebut,   maka   segala   persoalan   dapat   diselesaikan   dan   para   sahabat mematuhinya. Semangat persatuan  sangat dijaga oleh para sahabat, karena selalu berpegang kepada firman Allah:

وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَا تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَاصْبِرُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَۚ

Artinya: “Dan taatilah kamu sekalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, karena semua itu akan menyebabkan kalian gagal”. (QS. Al-Anfâl [8]: 46)

Para sahabat dilarang oleh Rasulullah Saw. memperdebatkan sesuatu  yang dapat memicu perpecahan, misalnya tentang qadar.  Sehingga pada masa ini,  corak aqidah   bersifat monopolitik, yaitu hanya ada satu bentuk ajaran tanpa perbedaan dan persanggahan dari para sahabat. Para sahabat yang mendatangi   Nabi bukan untuk memperdebatkan  ajaran  yang  dibawanya,  tetapi  menanyakan  persoalan-persoalan yang belum mereka pahami.

Embrio perpecahan baru muncul setelah Nabi Muhammad Saw. wafat. Mereka berselisih tentang siapa yang paling berhak untuk menggantikan kepemimpinan umat Islam setelah Nabi. Kaum Anshor yang dipimpin Sa’ad bin Ubadah berembuk di Tsaqifah bani Sa’idah untuk membicarakan penggantian kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. yang kemudian menyusul hadir Abu Bakar ash-Ṣiddiq, Umar bin Khaṭab dan   Abu Ubaidah bin Jarrah dari kalangan Muhajirin. Pada akhirnya dicapailah kesepakatan untuk mengangkat Abu Bakar ash-Ṣiddiq sebagai khalifah.

2. Aqidah Islam Pada Masa Khulafa ar-Rasyidin

Pada masa Khulafa ar-Rasyidin,  khususnya pada masa pemerintahan Abu Bakar (11-13 H), dan   Umar bin Khattab (13-23 H) persatuan umat Islam masih bisa dipertahankan, biarpun pada awal masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Ṣiddiq sempat muncul beberapa nabi palsu dan keengganan sebagian umat Islam membayar zakat, namun semua permasalahan tersebut dapat diatasi oleh Abu Bakar ash-Ṣiddiq.

Benih-benih  perpecahan  mulai muncul pada akhir masa pemerintahan Utsman bin Affan, yaitu ketika Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H) melakukan reformasi di bidang administratur pemerintahan. Kebijakan yang diambil Khalifah Utsman tersebut berdampak kepada situasi politik yang tidak stabil.

Situasi politik yang tidak stabil pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan mencapai puncaknya dengan terbunuhnya   khalifah ketiga tersebut. Peristiwa yang menyedihkan dalam sejarah Islam ini dikenal dengan istilah al-fitnah al-kubra (fitnah besar). Peristiwa ini dianggap sebagai pangkal munculnya firqah-firqah dalam Islam.

Intrik politik tidak menjadi reda dengan meninggalnya Utsman bin Affan. Bahkan pertikaian semakin membesar dengan terjadinya perang Jamal (pasukan khalifah Ali bin Abi Ṭālib  melawan pasukan ‘Aisyah) dan perang Ṣiffin (pasukan khalifah Ali bin Abi Ṭālib   melawan pasukan Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān). Perang Jamal dapat diselesaikan Khalifah Ali bin Abi Ṭālib   dengan baik. Namun upaya damai yang ditempuh untuk mengakhiri perang Ṣiffin melalui upaya perundingan/ tahkīm   justru membuat umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan. Kelompok Ali bin  Abi Ṭālib  terpecah menjadi dua golongan. Pertama, golongan yang tetap setia kepada Ali bin Abi Ṭālib, dan inilah yang menjadi embrio kelompok Syi’ah. Kedua, golongan yang memisahkan diri dari pasukan Ali bin Abi Ṭālib, dan inilah yang kemudian dikenal dengan firqah Khawārij. Di luar Syi’ah dan Khawārij, ada golongan pendukung Mu’awiyah bin Abu Ṣufyān. Pada masa ini, tema utama perdebatan para mutakallimīn adalah tentang hukum orang mukmin yang melakukan dosa besar.

3. Aqidah Islam Pada Masa Bani Umayyah

Pada masa ini,  perdebatan di  bidang aqidah sudah  sangat  tajam.  Kondisi  ini terjadi  karena kedaulatan  Islam  sudah  mulai  kokoh,  sehingga umat  Islam  semakin leluasa untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran yang sebelumnya tidak disentuh. Masuknya pemeluk   Islam yang berasal dari berbagai daerah yang masih membawa alam   pikiran   dari   keyakinan   sebelum   memeluk   Islam   juga   menjadi   faktor perkembangan  pemikiran  kalam.  Umat  Islam  mulai  tertarik  untuk  mendiskusikan masalah qadar, begitu juga masalah istiṭa’ah.

Corak pemerintahan yang represif dari beberapa khalifah   Bani Umayyah menyebabkan sebagian umat Islam bersikap apatis. Mereka beranggapan bahwa apa yang selama ini dialami oleh umat Islam pada hakikatnya sudah menjadi suratan taqdir. Corak pemikiran yang demikian ini sangat menguntungkan pihak pemerintahan. Maka paham ini dimanfaatkan pemerintah untuk melegitimasi segala kebijakannya. Tokoh yang   memunculkan pemikiran ini adalah Jahm bin Shafwan. Inilah yang kemudian dikenal dengan paham Jabariyah.

Pada akhirnya ada reaksi dari sebagian umat Islam yang menginginkan adanya perubahan.    Mereka  menandingi  paham  Jabariyah    dengan  memunculkan  konsep teologi baru. Motor penggerak paham ini misalnya: Ma’bad al-Juhani, Ghailan ad- Dimasyqi, dan Ja’ad bin  Dirham. Mereka inilah tokoh Qadariyah yang pertama.

Adapun sikap para sahabat yang masih hidup pada masa itu, misalnya: Ibnu Umar, Jabir bin   Abdullah, Anas bin   Malik, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah beserta sahabat lain, tidak mau terlibat dalam perdebatan tersebut dan bahkan menolaknya.

Pada masa Daulah Umayyah ini juga muncul pemikir yang cerdas  yaitu Hasan al-Baṣri yang   kemudian dijadikan rujukan oleh mayoritas Umat Islam dengan pendapatnya bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar  dipandangnya sebagai orang fasik, tidak keluar dari golongan mu’min.

4. Aqidah Islam Pada Masa Bani Abbasiyah

Pada masa ini, hubungan antara bangsa Arab dengan bangsa Ajam mencapai puncaknya. Komunikasi yang intens   ini melahirkan corak pemikiran yang baru di dunia Islam. Gerakan penerjemahan filsafat Yunani dan Persia gencar dilakukan, sehingga  terjadi  transfer  ilmu  pengetahuan  yang  berasal  dari  luar  Islam.  Corak pemikiran baru ini kemudian dikembangkan oleh para pemikir Islam dalam disiplin ilmu yang dikenal dengan Ilmu kalam.

Para mutakallimin mulai menulis karya pemikiran mereka dalam bentuk kitab- kitab yang sistematis. Misalnya Abu Hanifah menulis kitab al-Alim wa al- Muta’alim dan kitab al-Fiqhu al-Akbar karya Imam asy-Syafi’i untuk mempertahankan ’aqidah Ahlus Sunnah.

Antusiasme para pemikir Ilmu kalam semakin berkembang pesat pada masa pemerintahan al-Ma’mun.   Ilmu Kalam menjadi disiplin ilmu yang mandiri yang memisahkan diri   al-fiqhu fi-ilmi (ilmu hukum),  yang sebelumnya masih termasuk dalam dalam al-Fiqhu al-Akbar.

Pada masa pemerintahan   al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq, aliran Mu’tazilah dijadikan sebagai faham resmi kekhalifahan Bani Abasiyah, sehingga para ulama yang berpengaruh diuji aqidahnya, yang dalam sejarah dikenal dengan mihnah.

 Para ulama yang tidak sepaham dengan Mu’tazilah dalam hal kemakhlukan al-Qur’an maka akan dijatuhi hukuman bahkan dijebloskan ke dalam penjara.

Tindakan al-Ma’mun yang menggunakan tangan besi tersebut berdampak kepada hilangnya simpatik umat Islam terhadap   Mu’tazilah, dan pada akhirnya dijauhi oleh masyarakat. Dalam keadaan yang demikian itu muncullah Abu Hasan al-Asy’ari yang merupakan murid utama dari   al-Jubbai al-Mu’tazili    mengeluarkan pemikiran garis tengah/wasathiyah dengan menggunakan dalil-dalil naqli dan aqli untuk menopang argumentasi aqidahnya. Dan bersamaan itu.   muncul tokoh   Abu Mansur al-Maturidi yang mempunyai corak pemikiran yang sama dengan Abu Hasan al-Asy’ari

Faham aqidah yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi   dapat tersebar luas ke berbagai daerah karena corak pemikirannya yang wasathiyah dan dikembangkan oleh murid-muridnya.    Di antara Ulama yang mengembangkan pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari adalah  Abu Bakar al-Baqillani, Abu Ishaq al-Isfarayini, Imamul Haramain al-Juwaini, dan al-Ghazali.

5.    Aqidah Islam Sesudah Bani Abbasiyah

Pada masa ini, paham Asy’ariyah dan Maturidiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga menjadi paham mayoritas umat Islam. Corak pemikiran yang wasaṭiyah yang mudah dipahami, dan mampu mengkolaborasikan antara dalil naqli/nash dan pendekatan akal/filsafat  menjadikan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah menjadi aliran yang banyak diikuti oleh umat Islam. Aliran ini   kemudian dikenal dengan sebutan ahlu al-sunnah wa al-jama’ah dan   menjadi paham mayoritas umat  Islam.

Pada permulaan abad ke-8 H, muncul Taqiyyudin Ibnu Taimiyah  di Damaskus yang berusaha membongkar beberapa pemikiran Asy’ariyah yang dianggapnya  tidak murni bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadiś. Pemikiran Ibnu Taimiyah  ini kemudian dikenal dengan gerakan Salafi. Pada perkembangan selanjutnya muncul pemikir- pemikir  Islam  seperti  Ibnul  Qayyim  al-Jauziyah,  Jamaluddin  al-Afghani,  Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, dan Muhammad bin Abdul Wahab.

B. Peristiwa tahkīm

Ali bin Abi Ṭālib   menerima estafet kepemimpinan   dalam situasi  yang sulit. Peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan menjadi beban yang sangat berat untuk diselesaikan. Mu’awiyah yang merasa representasi keluarga Utsman bin Affan mengajukan tuntutan agar Ali bin Abi Ṭālib  memprioritaskan pengusutan pembunuhan Utsman bin Affan. Sebenarnya Ali bin Abi Ṭālib  sudah bersungguh-sungguh berupaya membongkar kasus pembunuhan Utsman tersebut, tetapi belum berhasil. Mu’awiyah bin Abi  Ṣufyān  tidak  mau  baiat  kepada  Ali  bin  Abi  Ṭālib    dan  secara  terang-terangan menolak kekhalifahannya. Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān, yang saat itu menjabat gubernur di Syam menyusun kekuatan untuk melawan kekhalifahan Ali bin Abi Ṭālib. Pada akhirnya bertempurlah dua kekuatan pasukan di Ṣiffin  pada bulan Ṣafar 37 H/657 M.

Dalam pertempuran di Ṣiffin, pasukan Ali bin Abi Ṭālib   hampir mencapai kemenangan.  ‘Amr  bin  ‘Ash  dari  pihak  Mu’awiyah  yang  mengamati  pasukannya semakin terpojok  dan menuju kepada kekalahan maka mengajukan usul supaya diadakan perundingan. Usulan tersebut pada awalnya diragukan ketulusannya oleh Ali bin Abi Ṭālib.  Namun pada akhirnya Ali bin Abi Ṭālib  menerima ajakan damai tersebut setelah didesak oleh sebagian pasukannya.

Daumatul   Jandal   adalah   lokasi   yang   disepakati   untuk   dijadikan   tempat perundingan. Peristiwa perundingan antara pihak Ali bin Abi Ṭālib  dan pihak Mu’awiyah inilah kemudian dikenal dengan sebutan tahkīm/arbitrase. Masing-masing delegasi berjumlah 400 orang (sebagian   riyawat mengatakan 100 orang). Delegasi Ali bin Abi Ṭālib   dipimpin Abu Musa Al-Asy’ari, delegasi Mu’awiyah   dipimpin ‘Amr bin ‘Ash. Dalam dialog antara delegasi Ali bin Abi Ṭālib  dan delegasi Mu’awiyah, dicapailah suatu kesepakatan, bahwa untuk meredakan pertikaian maka Ali bin Abi Ṭālib  dan Mu’awiyah harus diturunkan dari jabatannya.

‘Amr bin ‘Ash  meminta kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk menyampaikan hasil kesepakatan lebih dulu baru kemudian dirinya. Alasan yang disampaikan oleh ‘Amr bin‘Ash adalah   untuk menghormati Abu Musa al-Asy’ari karena lebih dulu masuk Islam dan usianyapun lebih tua. ‘Amr bin ‘Ash yang mempersilakan lebih dahulu kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk menyampaikan hasil musyawarah tersebut, ternyata hanyalah sebuah strategi untuk memenangkan diplomasi, yang tidak diantisipasi oleh Abu Musa al- Asy’ari. Lalu Abu Musa menyampaikan hasil perundingan di Daumatal Jandal tersebut tanpa mempunyai kecurigaan apapun kepada ‘Amr bin ‘Ash.

Sebelum Abu Musa al-Asy’ari menyampaikan pidatonya, Ibnu Abbas yang merupakan salah satu delegasi dari pihak Ali bin Abi Ṭālib, mencoba menasehati Abu Musa al-Asy’ari dengan mengatakan, “’Amr bin  ’Ash telah menipumu, jangan bersedia menyampaikan  hasil  kesepakatan  sebelum  ‘Amr  bin  ‘Ash  menyampaikan  di  depan seluruh delegasi!”  Namun Abu Musa al-Asy’ari menolak permintaan Ibnu Abbas. Dan berpidatolah  Abu  Musa  al-Asy’ari:  “Kami  berdua  mencapai  suatu  kesepakatan,  dan berdoa semoga Allah menjadikannya sebagai kesepakatan yang mendamaikan umat”.

Lalu di depan seluruh delegasi yang berjumlah sekitar 800 orang tersebut   Abu Musa  al-Asy’ari  melanjutkan  pidatonya:  “Kami  berdua  telah  mencapai  kesepakatan, yang kami nilai sebagai kesepakatan yang terbaik untuk umat, yaitu masing-masing dari kami berdua lebih dahulu akan mencopot Ali bin Abi Ṭālib   dan Mu’awiyah dari jabatannya. Setelah itu, menyerahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah yang mereka sukai. Dengan ini, saya menyatakan telah mencopot Ali bin Abi Ṭālib  sebagai khalifah”.

Dan seperti yang diduga Ibnu Abbas, ketika ‘Amr bin ‘Ash berbicara di depan semua delegasi, dia berkata, “Kalian telah mendengarkan sendiri, Abu Musa al-Asy’ari telah mencopot Ali bin Abi Ṭālib , dan saya sendiri juga ikut mencopotnya seperti yang dilakukan  Abu  Musa  al-Asy’ari.  Dengan  demikian,  dan mulai  saat  ini  juga,  saya nyatakan  bahwa  Mu’awiyah  adalah  khalifah,  pemimpin  umat.  Mu’awiyah  adalah pelanjut kekuasaan Utsman bin Affan dan lebih berhak menggantikannya”.

Mendengar pernyataan ‘Amr bin ‘Ash tersebut, Ibnu Abbas langsung membentak Abu Musa al-Asy’ari, yang menjawab “Saya mau bilang apa lagi, tidak ada yang bisa saya  lakukan,  ‘Amr  bin  ‘Ash  telah  menipuku", dan  kemudian  mulai  mencaci  dengan mengatakan,  “Wahai  ‘Amr  bin  ‘Ash,  celaka  kamu,  kamu  telah  menipu  dan  berbuat jahat”.

Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya dan gaduhnya suasana di Daumatul Jandal pada saat itu. Seluruh pendukung Ali bin Abi Ṭālib   tentu sangat kecewa. Sebaliknya, kubu Mu’awiyah merasa senang dan bersuka ria. Setelah kejadian aneh dan kacau itu, Abu Musa al-Asy’ari meninggalkan kota Daumatul Jandal menuju Makkah. Sementara

‘Amr bin ‘Ash dan anggota delegasinya meninggalkan Daumatul Jandal untuk menemui dan   memberitahu   Mu’awiyah   tentang   hasil      tahkīm   dan   sekaligus mengucapkan selamat kepada  Mu’awiyah   sebagai  khalifah.   Dan  inilah  awal  kekuasaan   Dinasti Umayyah di Damaskus. Sementara itu Ibnu Abbas  menemui Ali bin Abi Ṭālib  untuk memberitahu hasil pertemuan tahkīm.

Dampak dari peristiwa tahkīm tersebut, maka umat Islam terpecah menjadi tiga faksi, yaitu:

1.   Kelompok yang tetap setia kepada Ali bin Abi Ṭālib, yang kemudian menjadi embrio kelompok Syi’ah.

2.   Pecahan  kelompok  Ali  bin  Abi  Ṭālib,  yang  kemudian  dikenal  dengan  sebutan

Khawārij.

3.   Kelompok yang mendukung Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān.

Pada awalnya, aliran Khawārij  hanya memperdebatkan persoalan politik, namun kemudian     menjalar  ke  persoalan  teologi/akidah.  Misalnya  sikap  mereka  terhadap Utsman, Ali bin Abi Ṭālib  dan Mu’awiyah yang dinilainya sebagai kafir karena dianggap mencampuradukkan  antara  yang  benar  (haq)  dengan  yang  palsu  (bāṭil).  Karena  itu mereka merencanakan untuk membunuh Ali bin Abi Ṭālib, Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān, dan ‘Amr bin ‘Ash .

Rencana pembunuhan tersebut dirancang dengan matang. Ibnu Muljam ditugaskan untuk membunuh Ali bin Abi Ṭālib di Kufah. Hajjaj bin Abdullah ditugaskan untuk membunuh Mu’awiyah di Damaskus. ‘Amr bin Bakar ditugaskan untuk membunuh ‘Amr bin ‘Ash di Mesir. Namun pada akhirnya yang berhasil  dibunuh hanyalah Ali bin Abi Ṭālib.  Sedangkan Mu’awiyah hanya mengalami luka-luka, dan ‘Amr bin ‘Ash  selamat sepenuhnya, karena tidak ke Masjid, dan hanya berhasil membunuh  Kharijah yang dikira‘Amr bin ‘Ash  kerena kemiripan rupanya.

Sumber : AKIDAH AKHLAK MA KELAS XI Direktorat KSKK Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar