Jumat, 20 Agustus 2021

SYIAH

 Aliran  Syi’ah

1.   Sejarah Syi’ah

Syi’ah  menurut bahasa berarti sahabat atau pengikut. Dalam kajian ilmu kalam, kata syi’ah lebih spesifik ditujukan kepada   orang-orang  yang menjadi pengikut atau pendukung Ali bin   Abi Ṭālib. Menurut Macdonald,   para pendukung Ali ini tidak mau menerima penamaan diri mereka dengan Syi’ah sebagai suatu golongan atau sekte,  kaum  sunni  yang  memberi  nama  Syi’ah  kepada  mereka  itu  sebagai  suatu ejekan.  Tetapi  menurut  Watt,  penamaan  Syi’ah  terhadap  para  pendukung  dan pengikut Ali itu bukanlah diciptakan oleh lawan-lawan mereka, namun oleh mereka sendiri.

Menurut As-Sahrastani, Syi’ah adalah nama kelompok bagi mereka yang menjadi pengikut (syaya’u)    Ali bin    Abi Ṭālib, dan berpendirian bahwa keimaman/kekhalifahan itu berdasarkan pengangkatan dan pendelegasian (nash- washiyah) baik dilakukan secara terbuka maupun secara sembunyi-sembunyi atau rahasia, dan mereka yang percaya bahwa keimaman itu tidaklah terlepas dari anak keturunan Ali bin Abi Ṭālib.

Munculnya aliran Syi’ah tidak dapat dipisahkan dari tokoh kontroversial yang bernama Abdullāh   Ibnu Saba’. Abdullāh Ibnu Saba’  adalah seorang pendeta Yahudi berasal dari Yaman yang pura-pura masuk Islam. Sebagian ahli sejarah berpendapat

 

bahwa Abdullāh   Ibnu Saba’  ini masuk Islam dengan tujuan hendak merusak Islam dari dalam karena mereka tidak sanggup mengacaukan dari luar.

Propaganda yang pertama kali dilancarkan oleh Abdullāh    Ibnu Saba’  adalah dengan   cara   menyebarkan   fitnah   tehadap   Khalifah   Utsman   bin   Affan   dan menyanjung-nyanjung Ali bin  Abi Ṭālib     secara berlebih-lebihan. Propaganda ini mendapatkan sambutan dari sebagian masyarakat Madinah, Mesir, Bashrah, dll. Dia sangat berani membuat hadiś palsu yang bertujuan mengagung-agungkan Ali bin  Abi Ṭālib  dan merendahkan Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khaṭab, dan Utsman bin Affan. Di antara propaganda Abdullāh   Ibnu Saba’  adalah:

a.   al-Wishoyah

Arti al-wishoyah adalah wasiat. Nabi Muhammad Saw.  berwasiat supaya khalifah (imam) sesudah beliau adalah  Ali bin  Abi Ṭālib, sehingga beliau diberi gelar al-washiy (orang yang diberi wasiat).

b.  Ar-Raj’ah

Arti ar-raj’ah ialah kembali. Ibnu Saba’   menyampaikan bahwa Nabi Muhammad Saw.  tidak boleh kalah dengan Nabi Isa As. Kalau Nabi Isa As. akan kembali pada akhir zaman  untuk menegakkan keadilan, maka Nabi Muhammad Saw.  lebih patut untuk kembali. Ali bin  Abi Ṭālib juga akan kembali di akhir zaman  untuk menegakkan keadilan. Ia tidak percaya bahwa Ali bin   Abi Ṭālib telah  mati terbunuh tetapi masih hidup.

c.   Ketuhanan Ali bin  Abi Ṭālib

Ibnu Saba’  juga mempropagandakan paham bahwa dalam  tubuh Ali bin Abi Ṭālib     bersemayam unsur ketuhanan. Oleh karena itu Ali bin   Abi Ṭālib mengetahui segala yang gaib , dan selalu menang dalam peperangan melawan orang kafir, suara petir adalah suara Ali bin   Abi Ṭālib   , dan kilat adalah senyumannya.

2.   Sekte-Sekte Syiah Dan Pahamnya

K.H. Sirajuddin Abbas menyebutkan, bahwa Syi’ah itu terpecah belah menjadi

22 golongan, di antaranya adalah:

a.    Syi’ah Sabaiyah

Syi’ah ini adalah pengikut Abdullah Ibnu Saba’. Sekte ini termasuk syi’ah ghaliyah (syi’ah yang keterlaluan, yang berlebih-lebihan). Disamping mempercayai kembalinya Nabi Muhammad dan Ali bin   Abi Ṭālib     di akhir zaman   nanti,   juga memenyebarkan paham bahwa malaikat Jibril telah keliru dalam menyampaikan wahyu dari Tuhan. Karena sebenarnya wahyu yang seharusnya diturunkan kepada Ali bin  Abi Ṭālib   tetapi justru diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.

b.   Syi’ah Kaisaniyah

Syi’ah ini adalah pengikut Mukhtar bin Ubay as-Tsaqafi. Golongan ini tidak mempercayai adanya ruh Tuhan dalam tubuh Ali bin   Abi Ṭālib, tetapi mereka meyakini bahwa Imam  Syi’ah adalah ma’sum dan mendapatkan wahyu.

 

c.    Syi’ah Imamiyah

Yaitu Syi’ah yang percaya kepada Imam-imam yang ditunjuk langsung oleh nabi Muhammad Saw.   yaitu Ali bin   Abi Ṭālib     sampai 12 orang Imam keturunannya, yaitu:

1)   Ali bin  Abi Ṭālib   (600-661 M), juga dikenal dengan Amirul Mukminin

2)   Hasan bin Ali (625-669 M), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba

3)   Husain bin Ali (626-680 M), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid

4)   Ali bin  Husain (658-713 M), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin

5)   Muhammad bin Ali (676-743 M), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir

6)   Jafar bin Muhammad (703-765 M), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq

7)   Musa bin Ja'far (745-799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim

8)   Ali bin  Musa (765-818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha

9) Muhammad bin Ali (810-835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi

10) Ali bin  Muhammad (827-868 M), juga dikenal dengan Ali al-Hadi

11) Hasan bin Ali (846-874 M), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari

12) Muhammad bin Hasan (868- M), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi

d.   Syi’ah Isma’iliyah

Yaitu Syi’ah yang  mempercayai hanya 7 orang Imam, yaitu mulai Ali bin Abi Ṭālib   dan diakhiri Ismail bin Ja’far as-Shaddiq yang lenyap dan akan keluar pada akhir zaman . Sekte Syi’ah Ismailiyah ini berkembang di Pakistan yang merupakan murid Aga Khan. Urutan imam-imam yang dipercaya oleh Syi’ah Isma’iliyah adalah:

1) Ali bin  Abi Ṭālib   (600-661 M), juga dikenal dengan Amirul Mukminin

2) Hasan bin Ali (625-669 M), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba

3) Husain bin Ali (626-680 M), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid

4) Ali bin  Husain (658-713 M), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin

5) Muhammad bin Ali (676-743 M), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir

6) Ja'far bin Muhammad bin Ali (703-765 M), juga dikenal dengan Ja'far ash- Shadiq

7) Ismail  bin  Ja'far (721-755  M), adalah  anak  pertama Ja'far ash-Shadiq  dan kakak Musa al-Kadzim.

e.    Syi’ah Zaidiyah

Yaitu Syi’ah pengikut Imam Zaid bin Ali bin  Husein bin Ali bin  Abi Ṭālib, Syi’ah ini berkembang di Yaman. Sekte ini termasuk yang tidak ghullat. Mereka tidak mengkafirkan Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khaṭab, Utsman bin Affan, walaupun berkeyakinan bahwa Ali bin   Abi Ṭālib    lebih mulia dari ketiganya. Mengenai pelaku dosa besar, mereka berkeyakinan apabila mati sebelum taubat maka akan masuk neraka selama-lamanya.

 

f.    Syi’ah Qaramithah

Yaitu  kaum  Syi’ah  yang  suka  menafsirkan  al-Qur’an  sesuka  hatinya. Mereka  mengatakan  bahwa  malaikat-malaikat  adalah  muballigh  mereka  dan setan-setan adalah musuh mereka, sembahyang adalah mengikuti mereka, haji adalah  ziarah  kepada  imam-imam  mereka.  Orang  yang  sudah  mengetahui sedalam-dalamnya Allah, tidak perlu sembahyang, puasa, dll.

Sumber : AKIDAH AKHLAK MA KELAS XI, Direktorat KSKK Madrasah, DirektoraJenderaPendidikan Islam, Kementerian Agama RI



Rabu, 28 Juli 2021

Sejarah Ilmu Kalam

 1. Aqidah Islam Pada Masa Nabi

Ketika Nabi Muhammad Saw. masih hidup, umat Islam masih bersatu-padu, belum ada aliran-aliran/firqah. Apabila terjadi perbedaan pemahaman terhadap suatu persoalan, maka para sahabat  langsung  berkonsultasi kepada Nabi. Dengan petunjuk Nabi   tersebut,   maka   segala   persoalan   dapat   diselesaikan   dan   para   sahabat mematuhinya. Semangat persatuan  sangat dijaga oleh para sahabat, karena selalu berpegang kepada firman Allah:

وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَا تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَاصْبِرُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَۚ

Artinya: “Dan taatilah kamu sekalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, karena semua itu akan menyebabkan kalian gagal”. (QS. Al-Anfâl [8]: 46)

Para sahabat dilarang oleh Rasulullah Saw. memperdebatkan sesuatu  yang dapat memicu perpecahan, misalnya tentang qadar.  Sehingga pada masa ini,  corak aqidah   bersifat monopolitik, yaitu hanya ada satu bentuk ajaran tanpa perbedaan dan persanggahan dari para sahabat. Para sahabat yang mendatangi   Nabi bukan untuk memperdebatkan  ajaran  yang  dibawanya,  tetapi  menanyakan  persoalan-persoalan yang belum mereka pahami.

Embrio perpecahan baru muncul setelah Nabi Muhammad Saw. wafat. Mereka berselisih tentang siapa yang paling berhak untuk menggantikan kepemimpinan umat Islam setelah Nabi. Kaum Anshor yang dipimpin Sa’ad bin Ubadah berembuk di Tsaqifah bani Sa’idah untuk membicarakan penggantian kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. yang kemudian menyusul hadir Abu Bakar ash-Ṣiddiq, Umar bin Khaṭab dan   Abu Ubaidah bin Jarrah dari kalangan Muhajirin. Pada akhirnya dicapailah kesepakatan untuk mengangkat Abu Bakar ash-Ṣiddiq sebagai khalifah.

2. Aqidah Islam Pada Masa Khulafa ar-Rasyidin

Pada masa Khulafa ar-Rasyidin,  khususnya pada masa pemerintahan Abu Bakar (11-13 H), dan   Umar bin Khattab (13-23 H) persatuan umat Islam masih bisa dipertahankan, biarpun pada awal masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Ṣiddiq sempat muncul beberapa nabi palsu dan keengganan sebagian umat Islam membayar zakat, namun semua permasalahan tersebut dapat diatasi oleh Abu Bakar ash-Ṣiddiq.

Benih-benih  perpecahan  mulai muncul pada akhir masa pemerintahan Utsman bin Affan, yaitu ketika Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H) melakukan reformasi di bidang administratur pemerintahan. Kebijakan yang diambil Khalifah Utsman tersebut berdampak kepada situasi politik yang tidak stabil.

Situasi politik yang tidak stabil pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan mencapai puncaknya dengan terbunuhnya   khalifah ketiga tersebut. Peristiwa yang menyedihkan dalam sejarah Islam ini dikenal dengan istilah al-fitnah al-kubra (fitnah besar). Peristiwa ini dianggap sebagai pangkal munculnya firqah-firqah dalam Islam.

Intrik politik tidak menjadi reda dengan meninggalnya Utsman bin Affan. Bahkan pertikaian semakin membesar dengan terjadinya perang Jamal (pasukan khalifah Ali bin Abi Ṭālib  melawan pasukan ‘Aisyah) dan perang Ṣiffin (pasukan khalifah Ali bin Abi Ṭālib   melawan pasukan Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān). Perang Jamal dapat diselesaikan Khalifah Ali bin Abi Ṭālib   dengan baik. Namun upaya damai yang ditempuh untuk mengakhiri perang Ṣiffin melalui upaya perundingan/ tahkīm   justru membuat umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan. Kelompok Ali bin  Abi Ṭālib  terpecah menjadi dua golongan. Pertama, golongan yang tetap setia kepada Ali bin Abi Ṭālib, dan inilah yang menjadi embrio kelompok Syi’ah. Kedua, golongan yang memisahkan diri dari pasukan Ali bin Abi Ṭālib, dan inilah yang kemudian dikenal dengan firqah Khawārij. Di luar Syi’ah dan Khawārij, ada golongan pendukung Mu’awiyah bin Abu Ṣufyān. Pada masa ini, tema utama perdebatan para mutakallimīn adalah tentang hukum orang mukmin yang melakukan dosa besar.

3. Aqidah Islam Pada Masa Bani Umayyah

Pada masa ini,  perdebatan di  bidang aqidah sudah  sangat  tajam.  Kondisi  ini terjadi  karena kedaulatan  Islam  sudah  mulai  kokoh,  sehingga umat  Islam  semakin leluasa untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran yang sebelumnya tidak disentuh. Masuknya pemeluk   Islam yang berasal dari berbagai daerah yang masih membawa alam   pikiran   dari   keyakinan   sebelum   memeluk   Islam   juga   menjadi   faktor perkembangan  pemikiran  kalam.  Umat  Islam  mulai  tertarik  untuk  mendiskusikan masalah qadar, begitu juga masalah istiṭa’ah.

Corak pemerintahan yang represif dari beberapa khalifah   Bani Umayyah menyebabkan sebagian umat Islam bersikap apatis. Mereka beranggapan bahwa apa yang selama ini dialami oleh umat Islam pada hakikatnya sudah menjadi suratan taqdir. Corak pemikiran yang demikian ini sangat menguntungkan pihak pemerintahan. Maka paham ini dimanfaatkan pemerintah untuk melegitimasi segala kebijakannya. Tokoh yang   memunculkan pemikiran ini adalah Jahm bin Shafwan. Inilah yang kemudian dikenal dengan paham Jabariyah.

Pada akhirnya ada reaksi dari sebagian umat Islam yang menginginkan adanya perubahan.    Mereka  menandingi  paham  Jabariyah    dengan  memunculkan  konsep teologi baru. Motor penggerak paham ini misalnya: Ma’bad al-Juhani, Ghailan ad- Dimasyqi, dan Ja’ad bin  Dirham. Mereka inilah tokoh Qadariyah yang pertama.

Adapun sikap para sahabat yang masih hidup pada masa itu, misalnya: Ibnu Umar, Jabir bin   Abdullah, Anas bin   Malik, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah beserta sahabat lain, tidak mau terlibat dalam perdebatan tersebut dan bahkan menolaknya.

Pada masa Daulah Umayyah ini juga muncul pemikir yang cerdas  yaitu Hasan al-Baṣri yang   kemudian dijadikan rujukan oleh mayoritas Umat Islam dengan pendapatnya bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar  dipandangnya sebagai orang fasik, tidak keluar dari golongan mu’min.

4. Aqidah Islam Pada Masa Bani Abbasiyah

Pada masa ini, hubungan antara bangsa Arab dengan bangsa Ajam mencapai puncaknya. Komunikasi yang intens   ini melahirkan corak pemikiran yang baru di dunia Islam. Gerakan penerjemahan filsafat Yunani dan Persia gencar dilakukan, sehingga  terjadi  transfer  ilmu  pengetahuan  yang  berasal  dari  luar  Islam.  Corak pemikiran baru ini kemudian dikembangkan oleh para pemikir Islam dalam disiplin ilmu yang dikenal dengan Ilmu kalam.

Para mutakallimin mulai menulis karya pemikiran mereka dalam bentuk kitab- kitab yang sistematis. Misalnya Abu Hanifah menulis kitab al-Alim wa al- Muta’alim dan kitab al-Fiqhu al-Akbar karya Imam asy-Syafi’i untuk mempertahankan ’aqidah Ahlus Sunnah.

Antusiasme para pemikir Ilmu kalam semakin berkembang pesat pada masa pemerintahan al-Ma’mun.   Ilmu Kalam menjadi disiplin ilmu yang mandiri yang memisahkan diri   al-fiqhu fi-ilmi (ilmu hukum),  yang sebelumnya masih termasuk dalam dalam al-Fiqhu al-Akbar.

Pada masa pemerintahan   al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq, aliran Mu’tazilah dijadikan sebagai faham resmi kekhalifahan Bani Abasiyah, sehingga para ulama yang berpengaruh diuji aqidahnya, yang dalam sejarah dikenal dengan mihnah.

 Para ulama yang tidak sepaham dengan Mu’tazilah dalam hal kemakhlukan al-Qur’an maka akan dijatuhi hukuman bahkan dijebloskan ke dalam penjara.

Tindakan al-Ma’mun yang menggunakan tangan besi tersebut berdampak kepada hilangnya simpatik umat Islam terhadap   Mu’tazilah, dan pada akhirnya dijauhi oleh masyarakat. Dalam keadaan yang demikian itu muncullah Abu Hasan al-Asy’ari yang merupakan murid utama dari   al-Jubbai al-Mu’tazili    mengeluarkan pemikiran garis tengah/wasathiyah dengan menggunakan dalil-dalil naqli dan aqli untuk menopang argumentasi aqidahnya. Dan bersamaan itu.   muncul tokoh   Abu Mansur al-Maturidi yang mempunyai corak pemikiran yang sama dengan Abu Hasan al-Asy’ari

Faham aqidah yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi   dapat tersebar luas ke berbagai daerah karena corak pemikirannya yang wasathiyah dan dikembangkan oleh murid-muridnya.    Di antara Ulama yang mengembangkan pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari adalah  Abu Bakar al-Baqillani, Abu Ishaq al-Isfarayini, Imamul Haramain al-Juwaini, dan al-Ghazali.

5.    Aqidah Islam Sesudah Bani Abbasiyah

Pada masa ini, paham Asy’ariyah dan Maturidiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga menjadi paham mayoritas umat Islam. Corak pemikiran yang wasaṭiyah yang mudah dipahami, dan mampu mengkolaborasikan antara dalil naqli/nash dan pendekatan akal/filsafat  menjadikan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah menjadi aliran yang banyak diikuti oleh umat Islam. Aliran ini   kemudian dikenal dengan sebutan ahlu al-sunnah wa al-jama’ah dan   menjadi paham mayoritas umat  Islam.

Pada permulaan abad ke-8 H, muncul Taqiyyudin Ibnu Taimiyah  di Damaskus yang berusaha membongkar beberapa pemikiran Asy’ariyah yang dianggapnya  tidak murni bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadiś. Pemikiran Ibnu Taimiyah  ini kemudian dikenal dengan gerakan Salafi. Pada perkembangan selanjutnya muncul pemikir- pemikir  Islam  seperti  Ibnul  Qayyim  al-Jauziyah,  Jamaluddin  al-Afghani,  Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, dan Muhammad bin Abdul Wahab.

B. Peristiwa tahkīm

Ali bin Abi Ṭālib   menerima estafet kepemimpinan   dalam situasi  yang sulit. Peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan menjadi beban yang sangat berat untuk diselesaikan. Mu’awiyah yang merasa representasi keluarga Utsman bin Affan mengajukan tuntutan agar Ali bin Abi Ṭālib  memprioritaskan pengusutan pembunuhan Utsman bin Affan. Sebenarnya Ali bin Abi Ṭālib  sudah bersungguh-sungguh berupaya membongkar kasus pembunuhan Utsman tersebut, tetapi belum berhasil. Mu’awiyah bin Abi  Ṣufyān  tidak  mau  baiat  kepada  Ali  bin  Abi  Ṭālib    dan  secara  terang-terangan menolak kekhalifahannya. Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān, yang saat itu menjabat gubernur di Syam menyusun kekuatan untuk melawan kekhalifahan Ali bin Abi Ṭālib. Pada akhirnya bertempurlah dua kekuatan pasukan di Ṣiffin  pada bulan Ṣafar 37 H/657 M.

Dalam pertempuran di Ṣiffin, pasukan Ali bin Abi Ṭālib   hampir mencapai kemenangan.  ‘Amr  bin  ‘Ash  dari  pihak  Mu’awiyah  yang  mengamati  pasukannya semakin terpojok  dan menuju kepada kekalahan maka mengajukan usul supaya diadakan perundingan. Usulan tersebut pada awalnya diragukan ketulusannya oleh Ali bin Abi Ṭālib.  Namun pada akhirnya Ali bin Abi Ṭālib  menerima ajakan damai tersebut setelah didesak oleh sebagian pasukannya.

Daumatul   Jandal   adalah   lokasi   yang   disepakati   untuk   dijadikan   tempat perundingan. Peristiwa perundingan antara pihak Ali bin Abi Ṭālib  dan pihak Mu’awiyah inilah kemudian dikenal dengan sebutan tahkīm/arbitrase. Masing-masing delegasi berjumlah 400 orang (sebagian   riyawat mengatakan 100 orang). Delegasi Ali bin Abi Ṭālib   dipimpin Abu Musa Al-Asy’ari, delegasi Mu’awiyah   dipimpin ‘Amr bin ‘Ash. Dalam dialog antara delegasi Ali bin Abi Ṭālib  dan delegasi Mu’awiyah, dicapailah suatu kesepakatan, bahwa untuk meredakan pertikaian maka Ali bin Abi Ṭālib  dan Mu’awiyah harus diturunkan dari jabatannya.

‘Amr bin ‘Ash  meminta kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk menyampaikan hasil kesepakatan lebih dulu baru kemudian dirinya. Alasan yang disampaikan oleh ‘Amr bin‘Ash adalah   untuk menghormati Abu Musa al-Asy’ari karena lebih dulu masuk Islam dan usianyapun lebih tua. ‘Amr bin ‘Ash yang mempersilakan lebih dahulu kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk menyampaikan hasil musyawarah tersebut, ternyata hanyalah sebuah strategi untuk memenangkan diplomasi, yang tidak diantisipasi oleh Abu Musa al- Asy’ari. Lalu Abu Musa menyampaikan hasil perundingan di Daumatal Jandal tersebut tanpa mempunyai kecurigaan apapun kepada ‘Amr bin ‘Ash.

Sebelum Abu Musa al-Asy’ari menyampaikan pidatonya, Ibnu Abbas yang merupakan salah satu delegasi dari pihak Ali bin Abi Ṭālib, mencoba menasehati Abu Musa al-Asy’ari dengan mengatakan, “’Amr bin  ’Ash telah menipumu, jangan bersedia menyampaikan  hasil  kesepakatan  sebelum  ‘Amr  bin  ‘Ash  menyampaikan  di  depan seluruh delegasi!”  Namun Abu Musa al-Asy’ari menolak permintaan Ibnu Abbas. Dan berpidatolah  Abu  Musa  al-Asy’ari:  “Kami  berdua  mencapai  suatu  kesepakatan,  dan berdoa semoga Allah menjadikannya sebagai kesepakatan yang mendamaikan umat”.

Lalu di depan seluruh delegasi yang berjumlah sekitar 800 orang tersebut   Abu Musa  al-Asy’ari  melanjutkan  pidatonya:  “Kami  berdua  telah  mencapai  kesepakatan, yang kami nilai sebagai kesepakatan yang terbaik untuk umat, yaitu masing-masing dari kami berdua lebih dahulu akan mencopot Ali bin Abi Ṭālib   dan Mu’awiyah dari jabatannya. Setelah itu, menyerahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah yang mereka sukai. Dengan ini, saya menyatakan telah mencopot Ali bin Abi Ṭālib  sebagai khalifah”.

Dan seperti yang diduga Ibnu Abbas, ketika ‘Amr bin ‘Ash berbicara di depan semua delegasi, dia berkata, “Kalian telah mendengarkan sendiri, Abu Musa al-Asy’ari telah mencopot Ali bin Abi Ṭālib , dan saya sendiri juga ikut mencopotnya seperti yang dilakukan  Abu  Musa  al-Asy’ari.  Dengan  demikian,  dan mulai  saat  ini  juga,  saya nyatakan  bahwa  Mu’awiyah  adalah  khalifah,  pemimpin  umat.  Mu’awiyah  adalah pelanjut kekuasaan Utsman bin Affan dan lebih berhak menggantikannya”.

Mendengar pernyataan ‘Amr bin ‘Ash tersebut, Ibnu Abbas langsung membentak Abu Musa al-Asy’ari, yang menjawab “Saya mau bilang apa lagi, tidak ada yang bisa saya  lakukan,  ‘Amr  bin  ‘Ash  telah  menipuku", dan  kemudian  mulai  mencaci  dengan mengatakan,  “Wahai  ‘Amr  bin  ‘Ash,  celaka  kamu,  kamu  telah  menipu  dan  berbuat jahat”.

Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya dan gaduhnya suasana di Daumatul Jandal pada saat itu. Seluruh pendukung Ali bin Abi Ṭālib   tentu sangat kecewa. Sebaliknya, kubu Mu’awiyah merasa senang dan bersuka ria. Setelah kejadian aneh dan kacau itu, Abu Musa al-Asy’ari meninggalkan kota Daumatul Jandal menuju Makkah. Sementara

‘Amr bin ‘Ash dan anggota delegasinya meninggalkan Daumatul Jandal untuk menemui dan   memberitahu   Mu’awiyah   tentang   hasil      tahkīm   dan   sekaligus mengucapkan selamat kepada  Mu’awiyah   sebagai  khalifah.   Dan  inilah  awal  kekuasaan   Dinasti Umayyah di Damaskus. Sementara itu Ibnu Abbas  menemui Ali bin Abi Ṭālib  untuk memberitahu hasil pertemuan tahkīm.

Dampak dari peristiwa tahkīm tersebut, maka umat Islam terpecah menjadi tiga faksi, yaitu:

1.   Kelompok yang tetap setia kepada Ali bin Abi Ṭālib, yang kemudian menjadi embrio kelompok Syi’ah.

2.   Pecahan  kelompok  Ali  bin  Abi  Ṭālib,  yang  kemudian  dikenal  dengan  sebutan

Khawārij.

3.   Kelompok yang mendukung Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān.

Pada awalnya, aliran Khawārij  hanya memperdebatkan persoalan politik, namun kemudian     menjalar  ke  persoalan  teologi/akidah.  Misalnya  sikap  mereka  terhadap Utsman, Ali bin Abi Ṭālib  dan Mu’awiyah yang dinilainya sebagai kafir karena dianggap mencampuradukkan  antara  yang  benar  (haq)  dengan  yang  palsu  (bāṭil).  Karena  itu mereka merencanakan untuk membunuh Ali bin Abi Ṭālib, Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān, dan ‘Amr bin ‘Ash .

Rencana pembunuhan tersebut dirancang dengan matang. Ibnu Muljam ditugaskan untuk membunuh Ali bin Abi Ṭālib di Kufah. Hajjaj bin Abdullah ditugaskan untuk membunuh Mu’awiyah di Damaskus. ‘Amr bin Bakar ditugaskan untuk membunuh ‘Amr bin ‘Ash di Mesir. Namun pada akhirnya yang berhasil  dibunuh hanyalah Ali bin Abi Ṭālib.  Sedangkan Mu’awiyah hanya mengalami luka-luka, dan ‘Amr bin ‘Ash  selamat sepenuhnya, karena tidak ke Masjid, dan hanya berhasil membunuh  Kharijah yang dikira‘Amr bin ‘Ash  kerena kemiripan rupanya.

Sumber : AKIDAH AKHLAK MA KELAS XI Direktorat KSKK Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam

Selasa, 27 Juli 2021

Aliran Khawārij

1.   Sejarah  Khawārij

Istilah Khawārij   berasal dari Bahasa Arab “khawārij”, yang berarti mereka yang   keluar. Nama ini digunakan untuk memberikan atribut bagi pengikut Ali bin Abi Ṭālib     yang   keluar dari golongannya   dan kemudian membentuk kelompok sendiri.   Penamaan terhadap kelompok yang keluar dari pasukan Ali bin Abi Ṭālib bukanlah julukan  yang diberikan dari  luar kelompoknya saja, tetapi  mereka juga menamakan diri dengan sebutan   Khawārij   dengan pengertian orang-orang yang keluar pergi perang untuk menegakkan kebenaran. Penamaan ini diambilkan dari QS. An-Nisa’ (4): 100.

وَمَنۡ يُّهَاجِرۡ فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ يَجِدۡ فِى الۡاَرۡضِ مُرٰغَمًا كَثِيۡرًا وَّسَعَةً‌ ؕ وَمَنۡ يَّخۡرُجۡ مِنۡۢ بَيۡتِهٖ مُهَاجِرًا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوۡلِهٖ ثُمَّ يُدۡرِكۡهُ الۡمَوۡتُ فَقَدۡ وَقَعَ اَجۡرُهٗ عَلَى اللّٰهِ‌ ؕ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوۡرًا رَّحِيۡمًا

Artinya: Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi  ini  tempat  hijrah  yang  luas  dan  rezeki  yang  banyak.  Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul- Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’ [4]: 100.)

Nama lain Khawārij adalah   harūriyah yang dinisbahkan kepada perkataan harur, yaitu nama sebuah desa yang terletak di kota Kufah di Irak, dimana kaum Khawārij yang berjumlah 12.000 orang bertempat sesudah memisahkan diri dari pasukan Ali. Di sini mereka memilih Abdullāh   bin  Wahab al-Rasyidi menjadi imam sebagai ganti Ali bin  Abi Ṭālib.

Rekam jejak kaum Khawārij telah ada sejak zaman   Nabi Muhammad Saw. Diriwayatkan dari  sahabat Abu Sa’id al-Khudri ra, ia berkata: Ketika kami berada di sisi Rasulullah Saw. dan beliau sedang membagi-bagi (harta), datanglah Dzul Khuwaisirah dari Bani Tamim kepada beliau, ia berkata: “Wahai Rasulullah, berbuat adillah!” Rasulullah Saw. pun bersabda: “Celakalah engkau! Siapa lagi yang berbuat adil jika aku tidak berbuat adil? Benar-benar merugi jika aku tidak berbuat adil.”

Maka Umar bin Khaṭab ra. berkata: “Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku untuk memenggal lehernya!” Rasulullah berkata: “Biarkanlah ia, sesungguhnya ia akan mempunyai pengikut yang salah seorang dari kalian dinilai bahwa salat dan puasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan salat dan puasa mereka, mereka selalu membaca al-Qur’an namun tidaklah melewati kerongkongan mereka, mereka keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari ar-ramiyyah, dilihat nashl-nya (besi pada ujung anak panah) maka tidak didapati bekasnya. Kemudian dilihat rishaf- nya (tempat masuk nashl pada anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat dari nadhi-nya (batang anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat qudzadz-nya (bulu-bulu yang ada ada anak panah) maka tidak didapati pula bekasnya. Anak panah itu benar-benar dengan cepat melewati lambung dan darah hewan buruan. Ciri-cirinya: di tengah-tengan mereka; ada seorang laki-laki hitam, salah satu lengannya seperti payu dara wanita atau seperti daging yang bergoyang- goyang, mereka akan muncul di saat terjadi perpecahan di antara kaum muslimin.”

Timbul-tenggelamnya Khawārij juga dapat dilacak pada akhir masa pemerintahan Utsman bin Affan. Dr. Saleh bin Fauzan al-Fauzan menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang memberontak di akhir masa pemerintahan Utsman bin   Affan   yang   mengakibatkan   terbunuhnya   Utsman   bin   Affan”.   Setelah pemerintahan   dipegang oleh Ali bin Abi Ṭalib, mereka juga memberontak dengan dalih, pemerintahan Ali telah menyalahi hukum yang dibuat oleh Allah. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok Khawārij selalu memberontak kepada pemerintahan yang sah. Hal ini sesuai dengan salah satu doktrin politiknya, yaitu memberontak terhadap pemerintah dan memisahkan diri dari jama’ah muslimin merupakan bagian dari agama.

As-Sahrastani berkata: “Siapa saja yang keluar dari ketaatan terhadap pemimpin yang sah, yang telah disepakati, maka ia dinamakan khariji (seorang khawārij), baik keluarnya di masa sahabat terhadap al-Khulafa ar-Rasyidin atau kepada pemimpin setelah mereka di masa tabi’in, dan juga terhadap pemimpin kaum muslimin di setiap masa.”

Al-Imam an-Nawawi berkata: “Dinamakan Khawārij dikarenakan keluarnya mereka dari jama’ah kaum muslimin. Dikatakan pula karena keluarnya mereka dari jalan (manhaj) jamaah kaum muslimin, dan dikatakan pula karena sabda Rasulullah Saw. .: “Akan keluar dari diri orang ini…” (HR. Muslim)

2.   Sekte Khawārij dan doktrin ajarannya 

a.   Al-Muhakkimah

Sekte ini merupakan golongan Khawārij asli yang terdiri dari pengikut-

pengikut Ali yang kemudian membangkang. Nama al-Muhakkimah berasal dari semboyan mereka lā hukma illā lillāh ( menetapkan hukum itu hanyalah hak

Allah) yang merujuk kepada QS. Al- An’ām  (6): 57 berikut:

قُلْ اِنِّيْ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّيْ وَكَذَّبْتُمْ بِهٖۗ مَا عِنْدِيْ مَا تَسْتَعْجِلُوْنَ بِهٖۗ اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ ۗيَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِيْنَ

Artinya: Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang  paling baik". (QS.   Al- An’ām [6]: 57)


Mereka menolak   tahkīm karena dianggap bertentangan dengan perintah

Allah Swt. dalam QS.   al-Hujurât (49): 9 yang menyuruh memerangi kelompok pembangkang sampai mereka kembali ke jalan Allah Swt.

وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْۤءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ ۖفَاِنْ فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ 

Artinya: dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah  kamu  damaikan  antara  keduanya!  tapi  kalau  yang  satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. (QS.  Al-Hujurāt [49]: 9)

b.  Al-Azariqah

Sekte ini lahir sekitar tahun 60 H (akhir abad ke-7 M) di daerah perbatasan antara Irak dan Iran. Nama al-Azariqah dinisbahkan kepada pemimpinnya, yaitu Abi Rasyid Nafi’ bin al-Azraq. Sebagai khalifah, Nafi’ digelari amirul mukminin. Menurut al-Baghdadi, pengikut Nafi’ berjumlah lebih dari 20.000  orang.

Setiap orang Islam yang menolak ajaran al-Azariqah dianggap musyrik. Bahkan pengikut al-Azariqah yang tidak   berhijrah ke   dalam wilayahnya, juga dianggap musyrik. Menurut mereka, semua orang Islam yang musyrik boleh ditawan dan dibunuh, termasuk anak dan istri mereka. Berdasarkan prinsip ini, pengikut  al-Azariqah  banyak  melakukan  pembunuhan  terhadap  sesama  umat Islam yang berada di luar daerah mereka. Mereka memandang daerah mereka sebagai  dar  al-Islām  (negara  Islam),  di  luar  daerah  itu  dianggap  dar  al-kufr (daerah yang dikuasai/diperintah oleh orang kafir).

Al-Azariqah  mempunyai  sikap  yang lebih  radikal  dari  al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi menggunakan istilah kafir, tetapi istilah musyrik. Di dalam Islam, syirik merupakan dosa yang terbesar, lebih besar dari kufur.

Mereka juga mempunyai doktrin,  orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka adalah termasuk orang musyrik. Begitu juga pengikut al-Azariqah yang tidak mau hijrah kedalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik.

c.   An-Najdah

Pendiri sekte ini adalah Najdâh bin Amir al-Hanafi, penguasa daerah Yamamah.   Lahirnya kelompok ini sebagai reaksi terhadap pendapat Nafi’, pemimpin al-Azariqah yang mereka pandang terlalu ekstrem.

Paham teologi   an-Najdat yang terpenting adalah bahwa orang Islam yang tak sepaham dengan mereka dianggap kafir. Orang seperti ini menurut mereka akan masuk neraka dan kekal di dalamnya. Pengikut an-Najdâh sendiri tidak akan kekal dalam neraka walaupun melakukan dosa besar. Bagi mereka dosa kecil dapat meningkat menjadi dosa besar bila dikerjakan terus-menerus. Dalam perkembangan selanjutnya, sekte ini mengalami perpecahan. Beberapa tokoh penting dari sekte ini, seperti Abu Fudaik dan Rasyid at-Tawil, membentuk kelompok oposisi terhadap an-Najdâh yang berakhir dengan terbunuhnya Najdat pada tahun 69 H/688 M.

d.  Al-‘Ajaridiyah

Pendiri  sekte ini adalah Abdul Karīm bin Ajarad. Dibandingkan dengan al-Azariqah, doktrin teologi kaum al-Ajaridiyah jauh lebih moderat. Mereka berpendapat  bahwa  tidak  wajib  berhijrah  ke  wilayah  mereka  seperti  yang

 

diajarkan  Nafi’,  tidak  boleh  merampas  harta  dalam  peperangan  kecuali  harta orang yang mati terbunuh, dan tidak dianggap musyrik anak-anak yang masih kecil. Bagi mereka, al-Qur’an sebagai kitab suci tidak layak memuat cerita-cerita percintaan, seperti yang terkandung dalam surah Yusuf. Oleh karena itu, surah Yusuf dipandang bukan bagian dari Al-Qur’an.

e.   As-Sufriyah

Nama   as-Sufriyah   dinisbahkan   kepada   Ziad   bin   Ashfār.   Sekte   ini membawa paham yang mirip dengan paham al-Azariqah, hanya lebih lunak. Doktrin teologinya yang penting adalah istilah kufr atau kafir. Istilah kafir itu mengandung dua arti, yaitu kufr an-ni’mah (mengingkari nikmat Tuhan) dan kufr billāh (mengingkari Tuhan). Untuk arti pertama, kafir tidak berarti keluar dari Islam.

f.    Al-Ibadiyah.

Sekte ini dimunculkan oleh Abdullāh    bin Ibad al-Murri at-Tamimi pada tahun 686 M. Doktrin teologi yang terpenting antara lain bahwa orang Islam yang berdosa besar tidak dikatakan mukmin, melainkan muwahhid (orang yang dimaksud adalah kafir nikmat, yaitu tidak membuat pelakunya keluar dari agama Islam).

Selanjutnya, yang dipandang sebagai daerah dar at-tauhid (daerah yang dikuasai  orang–orang  Islam), tidak boleh diperangi. Harta yang boleh dirampas dalam perang hanya kuda dan alat perang. Sekte al-Ibadiyyah dianggap sebagai golongan yang paling moderat dalam aliran Khawārij.

Sumber : AKIDAH AKHLAK MA KELAS XI  Direktorat KSKK Madrasah

Peristiwa-peristiwa Penting Dalam Dakwah Rasulullah Saw Periode MAdinah (SKI Kelas 10/Gasal/Pertemuan ke 4)

Peristiwa-peristiwa  Penting  Dalam  Dakwah  Rasulullah  Saw  Periode

Madinah

Sejarah menyebutkan bahwa ketika di Makkah Rasulullah Saw dengan kegigihannya menyiarkan Islam tidak memperoleh hasil yang menggembirakan. Rasulullah Saw dan para pengikutnya secara politis benar-benar terpojok dan terjepit. Sebaliknya ketika sampai di Madinah, Islam benar-benar mendapat respon positif. Dakwah Islam di Madinah selama kurang lebih 10 tahun membawa kemajuan yang sangat pesat.

Berikut ini beberapa peristiwa penting dalam dakwah Rasulullah Saw periodeMadinah:

 1. Piagam Madinah (Mitsaq Madinah)

Lahirnya Piagam Madinah yang diperkirakan kurang dari dua tahun Rasulullah Saw tinggal di Madinah ini, membuktikan bahwa Rasulullah Saw dalam dakwahnya berhasil mengadakan konsolidasi dan negosiasi dengan berbagai kelompok kepentingan   di   Madinah,   selanjutnya   tampil   sebagai   pemimpin   serta   menata kehidupan sosial politik di sana. Piagam Madinah ini secara tidak langsung menandai berdirinya sebuah Negara.

Para sejarawan menyebut bahwa Piagam Madinah sebagai konstitusi tertua di dunia sepanjang sejarah. Piagam tersebut menjamin kebebasan beragama kaum Yahudi, menekankan kerjasama sedekat mungkin di kalangan Islam (Muhajirin dan Anshar), menyerukan kepada kaum Yahudi dan orang-orang Islam bekerjasama untuk perdamaian berdasarkan peraturan umum, serta menetapkan kewenangan mutlak kepada Rasulullah Saw untuk menyelesaikan dan menegakkan perselisihan di antara mereka.

Naskah Piagam Madinah terdiri dari 47 pasal yang dibuat dalam dua waktu yang berbeda. Pertama kesepakatan yang terjadi sebelum berlangsungnya perang Badar dan berisi 24 pasal yang membicarakan tentang hubungan antara umat Islam dengan umat-umat lainnya termasuk dengan kaum Yahudi. Kedua, kesepakatan yang terjadi setelah berlangsungnya perang Badar dan berisi 23 pasal  yang memuat tentang hubungan antara umat Islam yaitu kaum Muhajirin dan Anshar.

Inti dari Piagam Madinah adalah sebagai berikut:

a. Kaum Yahudi beserta kaum muslim wajib turut serta dalam peperangan b. Kaum Yahudi dari Bani Auf diperlakukan sama dengan kaum muslimin

c. Kaum Yahudi tetap dengan agama Yahudi mereka, dan demikian pula dengan kaum muslimin.

d. Semua kaum Yahudi dari semua suku dan kabilah di Madinah diperlakukan sama dengan kaum Yahudi bani Auf

e. Kaum  Yahudi  dan  muslimin  harus  tolong  menolong  dalam  memerangi  atau menghadapi musuh

f.  Kaum Yahudi dan muslimin harus senantiasa saling berbuat kebajikan dan saling mengingatkan ketika terjadi penganiayaan atau kedzaliman

g. Kota Madinah dipertahankan bersama dari serangan pihak luar

h. Semua penduduk Madinah dijamin keselamatannya kecuali bagi yang berbuat jahat

 i.  Muhammad  Rasulullah  Saw  adalah  pemimpin  umum  untuk  seluruh  penduduk Madinah.

Seorang sejarawan bernama W. Montgomery Watt dalam bukunya Islamic Political Thought mengatakan bahwa point-point terpenting yang terdapat dalam Piagam Madinah yang menggambarkan bentuk negara adalah sebagai berikut:

a. Orang-orang    beriman    dan    ketergantungan-ketergantungan    mereka    adalah merupakan suatu komunitas yang utuh (ummah)

b. Setiap suku atau bagian dari suku masyarakat ini bertanggung jawab terhadap harta rampasan atau uang tebusan atas nama masing-masing anggotanya (pasal 2-11)

c. Para    anggota    masyarakat    diharapkan    menunjukkan    kekompakan    dalam menghadapi tindak criminal, dan agar tidak membantu tindakan criminal sekalipun untuk anggota terdekatnya,  yang tindakannya itu bersangkutan dengan anggota masyarakat lain (pasal 13, 21)

d. Para anggota masyarakat diharapkan menunjukan rasa kekompakan yang penuh dan dalam menghadapi orang-orang yang tidak beriman, baik dalam situasi damai maupun situasi perang (pasal 14, 17, 19, 44), dan juga solidaritas dalam pemberian “perlindungan tetangga” (pasal 15)

e. Orang Yahudi yang berasal dari berbagai kelompok adalah milik masyarakat dan mereka harus menjaga agama mereka sendiri, mereka dan orang-orang Islam harus saling membantu bila itu diperlukan, termasuk bantuan militer (pasal 24-35, 37, 38, 46).


2. Respon Nabi Terhadap Kaum Kafir Quraisy

Selama berdakwah Rasulullah Saw belum pernah memaksa apalagi memerangi seorangpun  untuk  memeluk  Islam,  ajakan  tersebut  hanya  sebatas  menyampaikan kabar gembira maupun memberi peringatan. Untuk itu Allah Swt selalu menurunkan ayat-ayatnya yang memberikan semangat kepada Rasulullah Saw, bersabar di dalam menghadapi perlakuan yang menyakitkan dari pihak kafir Quraisy. Hingga dua tahun di Madinah turunlah wahyu tentang diperberbolehkannya berperang QS. Al -Hajj ayat 39-40

Kemudian Allah Swt. memerintahkan pelaksanaanya melalui firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 190.

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui  batas.  Sungguh,  Allah  tidak  menyukai  orang-orang  yang  melampaui batas. (QS. Al-Baqarah 2: 190)

Rasulullah  Saw  hanya  terbatas  memerangi  orang-orang  Quraisy  saja,  tidak semua bangsa Arab. Akan tetapi tatkala mereka bahu membahu bersama orang-orang musyrik  Arab  untuk  memerangi  orang-orang  Muslim,  maka  Allah  Swt memerintahkan kepada Rasulullah Saw untuk memerangi orang-orang musyrik secara keseluruhan.  Dengan  demikian  jihad  itu  bersifat  umum,  yaitu  diadakan  untuk melawan orang-orang yang tidak memiliki kitab suci dan atau orang-orang watsani (penyembah berhala).

Setelah turunnya wahyu diperbolehkannya umat Islam berperang dalam rangka mempertahankan diri, umat Islam tidak lagi bersifat pasif dan mengalah terhadap tindakan semena-mena kaum kafir. Dalam sejarah ada dua sebutan untuk perang pada masa  Rasulullah  Saw:  pertama   ghazwah   yaitu  peperangan   yang  diikuti  oleh Rasulullah Saw terjadi sebanyak 27 kali dan kedua sariyyah untuk peperangan yang tidak diikuti oleh Rasulullah Saw terjadi sebanyak 47 kali.

a. Peristiwa Badar

Peristiwa Badar adalah perang pertama kali dalam sejarah Islam, terjadi pada tahun  2  H  atau  tahun  625  M  di  lembah  Badar.  Pasukan  Muslimin  kala  itu berjumlah 313 oarang dengan pasukan kafir Quraisy berjumlah 1000 orang. Ada sebuah peristiwa menarik dalam perah Badar yang menandakan pertolongan dan janji Allah Swt itu nyata, yaitu ketika pada salah satu malam terjadi peperangan, Allah Swt menurunkan sebuah hujan. Hujan ini bagi kaum musyrikin terasa sangat lebat, sehingga mencegah mereka untuk maju, sementara  bagi kaum Muslimin hujan ini terasa bagaikan gerimis yang dapat menyucikan mereka, menghilangkan gangguan syaitan dari diri mereka, mudah untuk menapaki bumi, mengeraskan pepasiran,  memantapkan  langkah  menyiapkan  posisi  dan  memantapkan  hati mereka.  Sungguh  sebuah  pertolongan  yang  nyata  dari  Allah  Swt  bagi  kaum muslimin  waktu  itu.  Dalam  peperangan  Badar  ini  umat  Islam  memperoleh kemenangan.

b. Peristiwa Uhud

 Kekalahan dalam perang Badar membuat kaum kafir Quraisy berusaha untuk menghimpun   kekuatan.   Genap   satu   tahun   dari   peristiwa   perang   Badar, berangkatlah pasukan kafir Quraisy menuju Madinah. Pasukan Quraisy Makkah berhenti di dekat Gunung Uhud di sebuah tempat bernama Ainun di tanah tandus utara Madinah di samping gunung Uhud.

Rasulullah  Saw  beserta  pasukan  Muslimin  Madinah  keluar  dari  kota Madinah. Tepat disebuah tempat bernama Syauth beliau melaksanakan sholat subuh. Pada waktu itu Rasulullah Saw sudah sangat dekat dengan musuh, disinilah Abdullah bin Ubay beserta 300 pasukan membelot dan kembali ke Madinah.

Rasulullah Saw sangat yakin dengan pertolongan Allah, beliau tidak gentar sedikitpun ketika jumlah pasukannya berkurang. Disinilah Allah menurunkan bantuannya dengan memberikan keyakinan kepada pasukan yang masih setia dengan Rasulullah Saw. Perang Uhud telah menorehkan kesedihan dalam hati Rasulullah Saw karena paman beliau, Hamzah bin Abdul Mutholib wafat di tangan Wahsy bin Harb yang merupakan suruhan dari Hindun istri Abu Sufyan.

Ketika kaum muslimin sudah mendapatkan kemenangan, tiba-tiba pasukan muslimin yang berada di bukit Uhud tergiur harta rampasan perang (ghanimah) sehingga pasukan pemanah itu menuruni bukit dan akhirnya berhasil diserang kembali oleh kaum kafir Quraisy.

Perintah Rasulullah Saw untuk tidak meninggalkan bukit Uhud tidak lagi dihiraukan. Akibatnya kaum muslimin mengalami kekalahan. Disini bisa kita lihat bahwa ketaatan kepada pimpinan sangat diutamakan demi tercapainya tujuan bersama.

c. Peristiwa Ahzab

Peristiwa Ahzab atau perang Khandak terjadi pada bulan Syawal tahun ke 5 Hijriyah disekitar kota Madinah bagian utara. Rasulullah Saw bermusyawarah dengan para sahabat tentang strategi dan taktik yang digunakan. Salah seorang sahabat bernama Salman Al-Farisi berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dulu ketika kami di Negeri Persia, apabila kami dikepung (musuh), maka kami membuat parit di sekitar kami” (dan itu merupakan strategi yang sangat jitu dan belum dikenal oleh bangsa Arab sebelumnya).

Maka  bersegeralah  Rasulullah  Saw  melaksanakan  rencana  tersebut  dan beliau mempercayakan kepada setiap sepuluh orang untuk mengambil parit seluas empat puluh hasta. Peristiwa ini menandakan keluhuran budi Rasulullah Saw, yang mau menerima usulan dari orang lain dan ketaatan dari para sahabat terhadap apa yang diperintahkan oleh seorang pimpinan kepadanya.

Rasulullah Saw ikut serta dalam penggalian parit seraya terus mempompakan semangat kepada mereka. Keadaan yang serba kekurangan dan kelaparan tidak melemahkan semangat mereka. Dalam keadaan seperti ini banyak sekali muncul tanda-tanda kenabian dalam diri Rasulullah Saw, satu diantaranya ketika seorang sahabat Jabir bin Abdullah melihat Rasulullah Saw dalam keadaan lapar, beliau secara diam-diam mengundang Rasulullah Saw untuk menikmati hidangan di rumahnya dengan beberapa orang sahabat saja, Jabir melakukan secara diam-diam karena khawatir makanan yang dihidangkan tidak mencukupi jika dia mengundang secara terbuka.

 Namun Rasulullah Saw memanggil seluruh penggali parit yang jumlahnya mencapai seribu orang, mereka makan sepuasnya hingga kenyang, dan anehnya masih tersisa sepanci daging dalam keadaan tertutup seperti belum dimakan, demikian juga dengan hidangan yang lainnya, roti dan kurma masih utuh bahkan sampai kurma berjatuhan dari ujung baju mereka ketika mereka mengambil untuk bekal.

Kaum muslimin meneruskan penggalian parit itu sepanjang hari, dan pulang ke  rumah  masing-masing  pada  sore  harinya,  sehingga  penggalian  parit  dapat selesai sesuai dengan yang direncanakan.

Ketika kaum kafir Quraisy akan menyerang kaum Muslimin dan memasuki Madinah, mereka terhalang oleh parit-parit itu. Akhirnya kafir Quraisy hanya bisa mengelilingi  parit  sambil mencari  titik lemah  untuk  dijadikan  pintu  masuk  ke Madinah. Selama beberapa hari kaum kafir Quraisy mengepung kota Madinah hingga pada akhirnya  Allah Swt memberikan pertolongannya dengan turunnya hujan badai yang memporak porandakan perkemahan kaum kafir Quraisy. Demikianlah   pada   akhirnya   kaum   Muslimin   mengalami   kemenangan   pada peristiwa perang Ahzab.

3. Perjanjian Hudaibiyah

Rasulullah  saw  dan  kaum  muslimin  sudah  merindukan  untuk  menunaikan ibadah  haji.    Pada  tahun  6  H Rasulullah  saw  dan  kaum  muslimin  berangkat  ke Makkah.  Jumlah mereka sebanyak 1.000 orang.  Untuk menghilangkan praduga jelek dari kaum kafir Quraisy, umat Islam berpakaian ihram dan menuntun ternak untuk disembelih  pada  hari  Tasyrik  di  Mina.     Untuk  sekedar  menjaga  diri,  mereka membawa pedang yang disarungkan.

Ketika sampai di suatu tempat yang bernama Hudaibiyah, Rasulullah saw berhenti.  Beliau mengutus Usman bin Affan untuk menjelaskan kepada kaum kafir Quraisy tujuan kaum muslimin ke Makkah, yaitu untuk beribadah haji dan menengok saudara-saudaranya.  Namun, Usman ditahan kaum kafir Quraisy dan terdengar berita bahwa beliau dibunuh.  Ternyata, berita tersebut tidak benar, Usman telah datang dan berhasil memberi penjelasan kepada kaum kafir Quraisy.

Tidak lama kemudian, utusan kaum kafir Quraisy bernama Suhail bin Amr datang.   Dalam pertemuan itu disepakati perjanjian antara kaum kafir Quraisy dan kaum muslimin.  Perjanjian ini disebut Perjanjian Hudaibiyah.  Adapun isinya sebagai berikut:

a.   Umat Islam tidak boleh menjalankan ibadah umrah tahun ini.  Tahun depan baru diperbolehkan dan tidak boleh berada di Makkah lebih dari tiga hari.

b.   Keduanya tidak saling menyerang selama 10 tahun.

c.   Orang Islam yang lari ke Makkah (murtad) diperbolehkan, sedangkan orang kafir (Makkah) yang lari ke Madinah (masuk Islam) harus ditolak.

d.   Suku Arab yang lain, bebas memilih bergabung dengan Rasulullah ke Madinah atau mengikuti kafir Quraisy ke Makkah.

e.   Kaum  muslimin  tidak  jadi  melaksanakan  ibadah  Umrah  tahun  ini,  tetapi ditangguhkan sampai tahun depan.

Nampaknya, isi perjanjian ini merugikan kaum muslimin, tetapi hikmahnya sangat besar.   Masa 10 tahun   dapat dimanfaatkan untuk berdakwah dengan bebas tanpa khawatir ada gangguan dari kaum kafir Quraisy.

Sumber : Buku siswa SKI Madarasah Akiyah 10 / KSKK MAdrasah 2019

PERKEMBANGAN ISLAM MASA RASULULLAH SAW PERIODE MADINAH (SKI Kelas 10/Gasal/Pertemuan ke 3)

 A. Kebudayaan dan Kondisi Masyarakat Madinah Sebelum Islam

Madinah pada mulanya bernama Yasrib, dinamakan Yasrib karena orang pertama yang tinggal di kota ini bernama Yasrib bin Qa’id bin Ubail bin Aus bin Amaliq bin Lawudz bin Iram, salah seorang anak keturunan Sam, putra Nabi Nuh a.s. kota ini sudah terbentuk kurang lebih 1600 tahun sebelum masehi.

Kota Yasrib berjarak sekitar 300 mil sebelah utara kota Makkah, merupakan kota yang makmur dan subur dengan pertaniannya. Sebagai pusat pertanian, kota ini menjadi menarik bagi penduduk kota lain untuk berpindah kesana. Kota Yasrib dikelilingi oleh gunung berbatu, disini terdapat banyak lembah, atau yang paling terkenal dengan nama Wadi.  Persawahan  dan  perkebunan subur menjadi  sandaran  hidup  penduduk setempat. Penghasilan terbesarnya adalah anggur dan kurma, tidak mengherankan jika kurma terbaik di dunia terdapat di kota ini.

Luas kota Yasrib kala itu hanya sekitar 15 km dan sekarang sudah berkembang menjadi 293 km dengan batas-batas geografis sebagai berikut:

a)  Bagian selatan berbatasan dengan bukit Ayr

b)  Bagian utara berbatasan dengan bukit Uhud dan bukit Tsur c)  Bagian timur berbatasan dengan Harrah Waqim

d)  Bagian barat berbatasan dengan Harrah Wabarah

Komposisi penduduk Yasrib sebelum Islam masuk, berbeda dengan kota Makkah. Meskipun bersuku-suku, dilihat dari karakteristik budaya-agama, penduduk Makkah memiliki sifat  yang homogen  sebagai penyembah berhala. Sedangkan wilayah  Yasrib memiliki  penduduk  selain  terdiri  atas  beberapa  suku,  juga  ada  suku  Yahudi  disana dominan memeluk agama samawi dan ada juga pemeluk Nasrani.

Dilihat  dari  struktur  sosial  dan  budaya,  penduduk  Yasrib  cenderung  lebih heterogen dibanding Makkah. Mereka terdiri atas berbagai macam etnis dan kepercayaan serta memiliki adat istiadat sendiri dari masing-masing suku. Masyarakat Yasrib sebelum Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga:

1.     Suku Aus dan Khazraj

Kedua suku ini awal mulanya adalah nama dari dua orang saudara kandung anak dari Harits bin Tsa’labah dari istrinya yang bernama Qilah binti al-Arqam bin Amr bin Jafnah. Pada perkembangan selanjutnya Aus dan Khazraj menjadi dua nama kabilah besar di Yasrib. Selama kurang lebih 120 tahun dua kabilah ini saling bertikai, pertikaian ini tidak lain disebabkan karna provokasi kaum Yahudi yang iri dengan kemajuan suku  Aus dan  Khazraj.  Akibat provokasi kaum Yahudi, suku  Aus dan Khazraj   terlibat   perang   saudara   yang   hebat   dan   berkepanjangan,   salah   satu peperangan terkenal diantara keduanya disebut dengan perang Bu’ats.

Ketika itu suku Aus yang memiliki kekuatan besar karena beraliansi dengan Yahudi  berhasil mengalahkan  Khazraj.  Pada  musim  Haji,  suku  Khazraj  mencoba mencari dukungan suku Quraisy di Makkah. Pada kesempatan itu Rasulullah Saw mencoba menarik simpati suku Khazraj dengan mengajaknya memeluk Islam, tapi ajakan itu ditolak oleh mereka. Selanjutnya justru suku Aus menaruh simpati terhad ajakan Rasulullah Saw dan melakukan konsolidasi dalam Baiat Aqabah pertama dan Baiat Aqabah kedua.

 Akhirnya suku Aus menyadari betul bahwa kemenangnya atas suku Khazraj bukan hal yang menguntungkan, bahkan menjadi titik awal kehancurannya di tengah suku-suku Yahudi, sebab mereka membuka peluang bagi kaum Yahudi untuk menghancurkan dari belakang. Karena itu suku Aus terus berupaya melakukan rekonsiliasi   dengan   Khazraj.   Mereka   terus   berupaya   mewujudkan   gerakan perdamaian.

Kenyataan ini telah menunjukkan bahwa suku-suku Arab di Yasrib terus berupaya memelihara kekuasaan dan eksistensinya atas orang-orang Yahudi. Pada sisi lain, perang Bu’ats telah membangkitkan mereka untuk mencari perdamaian. Keinginan  untuk  hidup  damai  inilah  yang  mendorong  suku  Aus  dan  Khazraj menerima kehadiran Islam. Islam dalam pandangan mereka merupakan lambang persaudaraan dan kedamaian.

 2.    Kaum Yahudi

Ketika  kaum  Yahudi  berada  di  bawah tekanan  bangsa  Asyur  dan  Romawi, mereka cenderung berpihak kepada orang-orang Hijaz, walaupun pada dasarnya mereka adalah orang-orang Ibrani. Setelah bergabung dengan orang-orang Hijaz, gaya hidup mereka berubah menjadi gaya hidup orang Arab, berbahasa Arab, serta mengenakan pakaian yang biasa dipakai orang Arab pada umumnya, hingga nama- nama dan nama kabilah mereka disebut dengan nama-nama Arab dan pada akhirnya mereka pun menikah dengan orang Arab.

Namun meskipun demikian, mereka tetap memelihara rasa fanatisme mereka sebagai orang Yahudi dan tidak membaur dengan bangsa Arab. Bahkan mereka terus membanggakan dirinya sebagai bani Israil dan meremehkan orang-orang Arab dengan menghina dan meremehkannya. Kaum Yahudi tidak terlalu berambisi menyebarkan agama mereka, mereka menganggap bahwa mereka adalah orang-orang berilmu, memiliki kelebihan dibanding bangsa Arab.

Secara ekonomi, kaum Yahudi menguasai bagian terbesar dari kegiatan perekonomian di Yasrib. Mereka sangat terampil dalam mencari sumber penghidupan dan mata pencaharian. Kaum Yahudi menguasai perputaran bisnis biji-bijian, kurma, khamr, serta jual beli kain. Mereka mengeruk sekian kali lipat keuntungan dari bangsa Arab.

Dalam   perdagangan,   kaum   Yahudi   menerapkan   sistem   riba.   Mereka memberikan pinjaman kepada pemuka dan pemimpin bangsa Arab.  Dari uang yang mereka pinjamkan, mereka mengambil lahan serta tanah sebagai jaminan. Setelah masa pelunasan habis dan hutang belum terbayar, tanah serta lahan menjadi hak milik mereka.

Kaum Yahudi Madinah terdiri dari tiga kabilah terkenal, yaitu:

a.   Bani  Qainuqa,  dulunya  mereka  adalah  sekutu  suku  Khazraj,  perkampungan mereka berada di dalam kota Madinah

b.   Bani Nadzir, sama seperti Bani Qainuqa mereka adalah sekutu dari suku Khazraj yang tinggal di pinggiran kota Madinah

c.   Bani  Quraidzah,  dulunya  mereka  adalah  sekutu  dari suku  Aus dan  bertempat tinggal di pinggiran kota Madinah

Tiga bani inilah yang telah menyulut api peperangan  antara suku Aus dan Khazraj sejak lama dan berperan atas pecahnya perang Bua’ats karena masing-masing bergabung dengan sekutunya. Mereka  juga menguasai sistem pertanian, perdagangan, pertukangan, keuangan sehingga secara ekonomi dalam struktur sosial di Yasrib telah menduduki posisi yang sangat penting dan menentukan.

3.    Kaum Musyrik

Mereka  adalah  orang-orang  musyrik  yang  menetap  di  beberapa  kabilah Madinah. Mereka tidak memiliki kekuasaan atas penduduk Yasrib. Bisa dikatakan bahwa mereka adalah kaum minoritas yang hidup di Yasrib. Mereka memiliki seorang tokoh  bernama  Abdullah  bin  Ubay,  sebelum  Rasulullah  Saw  hijrah  ke  Yasrib, tepatnya setelah perang Bu’ats usai, suku Aus dan Khazraj telah sepakat untuk menobatkan Abdullah bin Ubay menjadi pemimpin kelompok mereka.

Abdullah bin Ubay merasa tidak ada pesaing di  Yasrib, maka ketika kabar datangnya Rasulullah Saw ke Yasrib sampai kepadanya dia merasa akan dirampas haknya oleh Rasulullah Saw sehingga dia menyimpan benih-benih permusuhan dalam dirinya. Sebagaimana Allah Swt. menguji kaum muslimin di Makkah dengan prilaku orang-orang  kafir  Quraisy,  demikian  juga  Allah  Swt.  Menguji  mereka  di  Yasrib dengan prilaku orang-orang Yahudi.

Dengan demikian di Yasrib ini, masyarakat atau umat Islam (kelak) selalu berhadapan dengan berbaUgaiJkIomPunUitasBdeLngaInKpluralisme kebudayaan, baik dalam bermasyarakat maupun dalam beragama.

Yasrib yang kemudian diganti namanya menjadi ‘Madinatul Munawwarah’ setelah   kedatangan   Rasulullah   Saw   ini   menjadi   sangat   terkenal.   Kedatangan komunitas Muslim Makkah ke Madinah sangat dinantikan oleh saudara-saudaranya seiman di kota ini. Penduduk Madinah yang telah mengenal Rasulullah Saw dan menyatakan beriman sangat senang dengan kedatangan rombongan yang kemudian disebut dengan kaum Muhajirin. Kaum Muhajirin mengharapkan angin segar seperti yang tertuang adalam perjanjian Aqabah yang telah mereka sepakati.

Hijrah bagi kaum muslimin Makkah, selain memberikan harapan baru untuk pengembangan kehidupan mereka, diharapkan dapat menghasilkan kehidupan sosial yang  lebih  aman,  tertib  dan  sejahtera.  Hal  itu  secara  umum  sulit  ditemukan  di Makkah.  Arti  hijrah  bagi  kaum Muhajirin  bukan pemutusan  ikatan  dengan tanah kelahiran dan alam lingkungannya semua. Namun yang lebih utama bagi mereka adalah kesempatan dan harapan baru untuk berubah menjadi anggota masyarakat baru yang dinamis yang memiliki hak-hak warga kenegaraan yang sama.

Begitupun sebaliknya, bagi mereka yang menerima kaum Muhajirin, yang kemudian disebut dengan Anshar (penolong), mereka merasakan adanya nuansa baru, baik secara psikologis maupun sosiologis. Kaum Anshar seolah mendapat energi baru dari sesama muslim dan etnis Arab, setelah sebelumnya selalu mendapat tekanan dari berbagai kondisi ekonomi, sosial dan keagamaan di Madinah.


B. Substansi dan Strategi  Dakwah Rasulullah Saw di Madinah


Kaum muslimin di Madinah telah mengetahui kabar berita kepergian Rasulullah Saw dari Makkah. Setiap pagi mereka berbondong-bondong menuju al-Harrah menunggu kedatangan  beliau,  hingga  pada  akhirnya  mereka  terpaksa  pulang  karena  teriknya matahari. Suatu hari mereka juga terpaksa pulang setelah lama menunggu kedatangan Rasulullah Saw.. Tatkala mereka sudah beranjak ke rumah masing-masing, seorang laki- laki Yahudi naik ke atas atap rumahnya, lalu dia melihat Rasulullah Saw dan para sahabatnya memakai baju putih.

Saat itu seisi Madinah semuanya berangkat untuk menyambut. Hari itu memang betul-betul hari yang istimewa dan semua orang berkumpul. Moment yang tidak pernah disaksikan oleh penduduk Madinah sepanjang sejarah.

 Sebelum sampai di Madinah Rasulullah Saw singgah dan tinggal selama empat hari di Quba. Selama itu Rasulullah Saw mendirikan masjid Quba dan sholat didalamnya. Inilah masjid pertama yang didirikan diatas ketaqwaan sejak kenabian. Memasuki hari kelima tepatnya hari Jumat, Rasulullah bertolak menuju Madinah. Seusai sholat Jumat, Rasulullah Saw sampai di Madinah.

Hari itu adalah hari bersejarah yang sangat ditunggu-tunggu masyarakat Madinah. Rumah-rumah dan jalan ketika itu bergemuruh dengan pekikan Tahmid dan Taqdis (penyucian). Putra putri kaum Anshar (penolong) menyanyikan bait-bait syair sebagai ekspresi kegembiraan:

Sekalipun orang-orang Anshar bukanlah orang yang serba kecukupan (kaya raya) namun mereka berharap rumahnya disinggahi oleh Rasulullah Saw. Saat melewati satu persatu rumah orang-orang Anshar, mereka mengambil tali unta beliau. Setiap mereka lakukan demikian, Rasulullah Saw berkata kepada mereka “biarkan unta ini lewat karena ia telah diperintahkan (sesuai kehendak Allah Swt.)”. Unta itu terus berjalan hingga sampai di lokasi masjid Nabawi sekarang ini. Di situlah kediaman bani An-Najjar, keluarga ibu kakek Rasululullah Saw (Abdul Muthalib). Hal itu merupakan taufiq Allah Swt kepada sang unta, peristiwa ini terjadi pada hari Jumat, 12 Rabiul Awwal tahun 1 H bertepatan dengan tanggal 27 September 622 M.

Berikut langka-langkah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw di Madinah:

1.   Membangun Masjid

Langkah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah mendirikan masjid yang kemudian diberi nama masjid Nabawi. Pada lokasi unta tersebut duduk, beliau memerintahkan mendirikan masjid ini. beliau sendiri ikut serta dalam proses pembangunan. Di tempat inilah dakwah Rasulullah Saw mulai dilakukan yaitu dengan melakukan sholat jamaah, pengenalan dan penanaman ibadah mahdhoh, muamalah

 dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya sehingga wilayah di sekitar masjid menjadi ramai. Selanjutnya diteruskan dengan membagun jalan raya di sekitar masjid. Lama kelamaan, tempat itu menjadi pusat kota dan pemukiman. Rasulullah saw beserta umatnya juga membangun jembatan-jembatan yang menghubungkan lembah yang satu dengan lembah yang lainnya.   Dengan demikian, masyarakat setempat dapat berhubungan dengan masyarakat di lembah yang berbeda.

Pesatnya pembangunan kota Madinah menyebabkan adanya migrasi dari tempat lain. Masyarakat yang ada di sekitar wilayah Madinah berdatangan dengan tujuan berdagang   dan tujuan yang lain. Keadaan yang demikian menyebabkan Madinah menjadi kota terbesar di Jazirah Arab. Pada masa ini, masyarakat muslim berkembang menjadi masyarakat besar dan berkuasa.

Hal itu menimbulkan kecemburuan pada kelompok masyarakat Yahudi dan Nasrani. Mereka mulai memperlihatkan rasa tidak suka. Agar permasalahan yang muncul tidak makin runyam, Nabi membuat peraturan untuk menata masyarakat.

2.   Mempersatukan Suku Aus dan Khazraj

Dua suku yang sering bertikai ini disatukan untuk kemudian mereka melebur menjadi kaum Anshar yang menolong hijrahnya Rasulullah Saw. Untuk memperkuat persatuan diantara mereka dan dengan suku-suku lain yang berada di Madinah, Rasulullah   Saw   membuat   sebuah   konstitusi   yang   akan   disampaikan   dalam pembahasan selanjutnya

3.   Mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar

Disamping membangun masjid sebagai pusat perkumpulan dan persatuan, Rasulullah Saw juga melakukan langkah lain yang merupakan sesuatu yang paling indah   yang  pernah   ditorehkan   dalam  sejarah,  yaitu   mempersaudarakan  kaum Muhajirin dan kaum Anshar, persaudaraan berdasarkan agama yang menggantikan persaudaraan yang berdasarkan darah sehingga suasana menjadi lebih   damai dan aman. Dengan mempersatukan kedua saudara atas dasar agama, maka persatuan diantara mereka semakin kokoh.

 4. Penanaman Nilai-nilai Moral

Dengan berbagai langkah yang dilakukan Rasulullah Saw, beliau telah berhasil menancapkan pilar-pilar masyarakat baru. Fenomena ini tidak lain merupakan dampak dari   nilai-nilai yang diserap oleh para generasi agung berkat persahabatan mereka dengan Rasulullah Saw. Selalu komitmen terhadap mereka melalui pengajaran, pendidikan, penyucian diri dan ajakan kepada perilaku mulia. Rasulullah Saw juga mengajarkan kepada mereka tentang adab-adab berkasih sayang, bersaudara, menjunjung keagungan, kemuliaan, ibadah dan ketaatan.

5. Membentuk tatanan masyarakat

Rasulullah  Saw  mempersatukan  golongan  Yahudi  dari  Bani  Qainuqa,  Bani Nadzir, dan Bani Quraidzah. Rasulullah Saw membentuk suatu perjanjian yang melindungi hak-hak asasi manusia di Madinah dan kemudian disebut dengan Piagam Madinah



Sumber : Buku Siswa SKI Madarasah Aliyah KLas X (Uji Publik) Direktorat KKSK Madarasah 2019

Peristiwa-peristiwa Penting dalam Dakwah Rasulullah Saw Periode Makkah (Klas 10/Gasal/Pertemuan 2)

Peristiwa-peristiwa  Penting  dalam  Dakwah  Rasulullah  Saw  Periode Makkah

Siksaan terhadap kaum muslimin bermula pada tahun ke-4 kenabian. Awalnya siksaan itu terlihat lunak. Namun, seiring berjalannya waktu, kaum kafir Qurays semakin gencar melakukan penyiksaan pada tahun ke-5 kenabian. Selain penyiksaan yang dialami kaum muslimin hingga berujung perintah melaksakan hijrah, beberapa peristiwa penting juga terjadi selama Rasulullah Saw berdakwah di Makkah.

1.   Hijrah ke Habasyah

Melihat berbagai macam siksaan dan derita yang dialami oleh kaum muslimin, sementara beliau tidak bisa melindungi mereka, maka Rasulullah Saw   berkata “tidakkah sebaiknya kamu sekalian pergi ke Habasyah? Sesungguhnya disana ada seorang raja yang tidak ada seorangpun teraniaya di sisinya, tinggllah di negeri itu, sehingga Allah Swt memberi kemudahan dan jalan keluar dari apa yang kalian alami saat ini

Pada tahun 615 M atau tahun ke 5 kenabian,   berangkatlah kaum muslimin menuju Habsy.  Rombongan pertama dipimpin Usman bin Affan berjumlah 15 orang, yang terdiri dari 11 laki-laki dan 4 wanita.  Kemudian, disusul rombongan yang kedua dipimpin Ja’far bin Abi Thalib berjumlah hampir 100 orang.

Kedatangan kaum muslimin ke Habsy diterima oleh Raja Najasyi dengan baik. Mereka mendapat perlindungan dan bantuan bahan makanan.  Perlakuan Raja Najasyi terhadap  umat  Islam  tersebut  membuat  kaum  kafir  Quraisy  sakit  hati.    Mereka mengutus Amru bin Ash dan Abdullah bin Rabi’ah untuk menghadap Raja Najasyi.

Kedua utusan itu berkata kepada Raja Najasyi, ”Wahai Raja! Mereka telah pergi dari negeriku dan datang ke negerimu.   Mereka orang-orang yang bodoh.   Mereka telah melepaskan agama nenek moyang kami dan telah masuk agama baru  yang kami dan kamu tidak mengetahuinya.   Maka kami diutus oleh pemimpin-pemimpin kami untuk minta kepadamu agar mereka dikembalikan kepada kami”.

Raja Najasyi tidak mau memenuhi permintaan utusan itu sebelum mendengar keterangan dari kaum muslimin.   Lalu, Raja Najasyi bertanya kepada umat Islam,

”Agama  apakah  yang  menyebabkan  kamu  sekalian  keluar  dari  agama  nenek moyangmu dan tidak mau masuk agamaku?”.

Kaum muslimin yang diwakili Ja’far bin Abi Thalib  menjawab, ”Wahai Raja! Kami dahulu orang Jahiliyyah, menyembah berhala, memakan bangkai, berbuat jahat, memutuskan hubungan persaudaraan, dan orang-orang kami memperbudak yang lemah.  Lalu, datang utusan Allah Swt, yaitu seorang di antara kami (kaum Quraisy). Kami  mengenal  akhlaknya  yang  mulia,  yaitu  jujur,  menepati  janji,  dan  pemaaf. Beliau  mengajak  kami  untuk  menyembah  Allah  Swt  Yang  Esa,  menyuruh  kami berkata yang benar, bersikap jujur, adil, memenuhi amanah, menyambung persaudaraan, serta berbuat baik kepada tetangga.   Beliau melarang kami berbuat jahat, berkata kotor, makan  harta anak yatim  dengan  jalan yang tidak  halal, dan menyekutukan Allah Swt.  Maka kami menerima ajakannya untuk masuk Islam”.

Kaum muslim mempersiapkan rombongan untuk berhijrah ke Habasyah dengan jumlah yang lebih banyak yaitu 83 orang laki-laki, 11 orang wanit Qurays dan 7 orang wanita asing. Akan tetapi hijrah yang kedua ini lebih berat tantangannya karena berbagai cara dilakukan oleh kaum kafir Qurays untuk menggagalkannya.

Melihat situasi seperti itu, Usman berkata “ Ya Rasulullah, kami telah berhijrah yang pertama kepada Najasy, dan kali ini yang kedua, tapi engkau tidak juga ikut bersama kami”. Rasulullah Saw berkata “ kelian berhijrah kepada Allah Swt dan kepadaku. Kalian mendapatkan kedua hijrah ini semuanya. “ kalau begitu cukup kami saja Ya Rasulullah”, kata Ustman. Kaum Muhajirin itu menetap di Negeri Habasyah dalam  keadaan  aman  dan  sentosa.  Namun  tatkala  mereka  mendengar  tentang hijrahnya Rasulullah Saw ke Yasrib, maka pulanglah mereka ke Makkah untuk ikut serta dalam hijrah Rasulullah Saw ke Yasrib.

 

2.   Amul Huzni

Abu  Thalib  bin  abdul  Muthalib  adalah  orang  yang  paling  gigih  membela dakwah Rasulullah Saw. Perlindungan dan bantuan dari Abu Thalib dalam dakwah Rasulullah Saw sangatlah totalitas. Ia adalahbenteng yang melindungi dakwah Rasulullah Saw, meski ia tetap berpegang pada agama nenek moyangnya. Namun begitu, dalam Asad Al-Ghobah  diceritakan , tatkala sakit Abu Thalib semakin parah, ia memanggil semua warga Bani Abdul Muthalib, lalu berpesan “ sesungguhny akmu sekalian akan dalam keadan baik selagi kalian mendengan perkatan Muhammad dan mengikuti perintahnya. Karena itu, ikutilah dia dan percayailah dia, niscaya kalian akan selamat”. Seletah Abu Thalib meninggal, Rasulullah Saw berkata, “ semoga Allah  Swt  merahmatimu  dan  mengampunimu.  Aku  akan  memintakan  ampun untukmu, sampai Allah Swt  melarangku”.

Tidak berselang lama dari meninggalnya Abu Thalib, Siti Khadijah istri tercinta Rasulullah Saw   pun meninggal dunia. Khadijah wafat pada bulan Ramadhan pada tahun ke 12 kenabian dalam usia 65 tahun.

Dengan meninggalnya Abu Thalib dan Khadijah, musibah demi musibah datang bertubi-tubi,  karena  keduanya  adalah  orang  yang  sangat  gigih  membela  dan melindungi beliau. Sejak saat itu kaum kafir Qurays semakin gencar melancarkan gangguan kepada Rasulullah Saw. tahun meninggalnya Abu Thalib dan Situ Khadijah disebut dengan Amul huzni atau tahun kesedihan.


3.   Isra Mikraj

Peristiwa Isra Mikraj terjadi satu tahun sebelum hijrah, tepatnya pada malam senin 27 rajab setelah Rasulullah pulang dari perjalanannya ke Tha’if. Isra secara bahasa artinya perjalanan malam, adapun menurut istilah yaitu perjalanan Rasulullah Saw pada satu malam dari Masjidil Harom ke Masjidil Aqsa atau Baitul Maqdis di Palestina. Mikraj adalah naiknya Rasulullah Saw dari Masjidil Aqsha menuju ke Sidratul Muntaha untuk menghadap Allah Swt.

Isra Mikraj merupakan pertolongan dari Allah Swt sekaligus hiburan dari Allah Swt atas kesedihan Rasulullah Saw karena ditinggal dua orang terkasihnya yaitu Abu Thalib dan Siti Khadijah. Allah Swt menceritakan peristiwa Isra Mikraj ini dalam q.s al-Isra’ [17] ayat 1.

Dalam perjalanan Isra Mikraj ini malaikat mendatangi beliau dengan membawa Buroq, kemudian Jibril menaikkan beliau keatas Buraq dan mengajaknya melakukan perjalanan dari Masjidil Haram menuju masjidil Aqsha dan dinaikkan ke langit untuk melihat tanda-tandakebesaran Allah Swt. Dalam perjalanan ke Sidratul Muntaha Rasulullah Saw dan Malaikat Jibril singgah di tujuh lapis langit dan dipertemukan dengan para nabi:

a.   Langit pertama bertemu dengan Nabi Abam a.s., bapak umat manusia. Rasulullah Saw mengucapkan salam dan Nabi Adam a.s menjawab salam menyambut kedatangan beliau dan menyatakan pengakuan atas Nubuwat beliau.

b.   Langit kedua, bertemu dengan Nabi Yahya a.s dan Nabi Zakariya a.s. c.   Langit ketiga, bertemu dengan Nabi Yusuf a.s

d.   Langit keempat, bertemu dengan Nabi Indris a.s e.   Langit kelima, bertemu dengan Nabi Harun a.s

f.   Langit keenam, bertemu dengan Nabi Musa a.s Sebelum Rasulullah Saw menuju langit ketujuh, Nabi Musa a.s menangis dan menimbulkan   Tanya   dalam   diri   Rasulullah   Saw   “apa   yang   membuatmu menangis”? Nabi Musa a.s menjawab “aku menangis karena ada seorang pemuda yang diutus sesudahku yang masuk surga bersama umatnya dan lebih banyak jumlahnya daripada umatku yang masuk surga”.

g.   Langit ketujuh, bertemu dengan Nabi Ibrahim a.s dan dalam setiap pertemuannya dengan para nabi terdahulu mereka selalu mengakui nubuwwat Rasulullah Saw.

Lalu  Rasulullah  Saw naik  lagi  menuju Baitul  Ma’mur,  yang setiap  harinya dimasuki 70.000 malaikat yang tidak keluar lagi darinya. Kemudian diangkat lagi untuk menghadap Allah Swt yang maha perkasa dan mendekat kepadanya. Lalu Allah Swt mewahyukan apa yang dikehendaki dan Allah Swt mewajibkan shalat sebanyak 50 rakaat. Setelah Rasulullah Saw bertemu dengan Nabi Musa a.s tentang perintah shalat 50 rakaat tersebut, Nabi Musa a.s berkata “sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup melaksanakannya, sehingga pada akhirnya Allah Swt memerintahkan kepada umat Rasulullah Saw untuk melaksanakan shalat sebanyak 5 waktu. Sebenarnya Nabi Musa a.s meerintahkan kepara Rasulullah Saw untuk kembali memintakeringanan kepada Allah Swt, namun Rasulullah Saw menjawab “Aku sangat malu kepada Rabb- ku, aku sudah Ridha dan menerima perintah ini” beberapa saat kemudian terdengar seruan “ Aku telah menetapkan kewajiban dan telah kuringankan bagi hamba-Ku”.

4.   Hijrah ke Yasrib

Setelah peristiwa Isra Mikraj ada satu perkembangan besar bagi kemajuan kaum muslimin yang datang dari penduduk Yasrib. Mereka melaksanakan ibadah haji ke Makkah yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj. Pada musim haji selanjutnya, terdiri dari dari orang-orang Yasrib berjumlah 73 orang, atas nama penduduk Yasrib mereka meminta kepada Rasulullah Saw untuk berkenan pindah ke Yasrib. Mereka berjanji akan membela Rasulullah Saw dari segala macam ancaman, dan kemudian Rasulullah Saw menyetujui baiat Aqabah dua setelah pada tahun kesebelas  kenabian menyetujui adanya Baiat Aqabah pertama.

a. Baiat Aqabah Pertama

Ketika musim haji tiba, Rasulullah Saw menggunakannya untuk menyampaikan dakwah kepada jamaah haji yang datang dari seluruh penjuru Arab. Di antara mereka terdapat orang-orang Yasrib dari suku Aus dan Khazraj.  Kedua suku ini sering mendengar berita dari orang-orang Yahudi bahwa Nabi akhir zaman akan segera datang.

Pada musim haji tahun ke 11 kenabian, bertepatan dengan tahun 621 M, 12 orang dari suku Aus dan Khazraj berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.  Mereka bertemu dengan Rasulullah Saw di Aqabah (Mina) dan menyatakan baiat (sumpah setia).  Baiat itu kemudian dikenal dengan sebutan Baiat Aqabah I atau disebut Baiatun Nisa’, karena di antara yang ikut baiat ada seorang wanita, ia bernama Afra binti Abi Ubaidah


Ada  6  pokok  persoalan  penting yang  menjadi  sumpah setia  dalam Baiat Aqabah I adalah :

a)    Mereka tidak akan menyekutukan Allah Swt dengan sesuatu apapun. b)   Mereka tidak akan mencuri.

c)   Mereka tidak akan berzina.

d)   Mereka tidak akan membunuh anak-anaknya.

e) Mereka tidak akan berbuat fitnah, dusta dan curang.

 f) Mereka tidak akan mendurhakai  Rasulullah Saw.

Ketika mereka pulang ke Yasrib (Madinah), Rasulullah Saw mengutus Mus’ab bin Umair menyertai mereka.   Mus’ab bin Umair mendapat tugas mengajarkan  Islam  kepada  penduduk  Yasrib.    Dengan  demikian,  agama Islam semakin bersinar di Yasrib.  Penduduk berbondong-bondong masuk agama Islam, sehingga jumlah kaum muslimin semakin bertambah.

b. Baiat Aqabah kedua

Pada tahun ke 12 kenabian, bertepatan tahun 622 M, serombongan kaum muslimin dari Yasrib berangkat menuju Makkah untuk menunaikan ibadah Haji.

 Mereka berjumlah 75 orang, terdiri atas 73 orang laki-laki dan 2 orang wanita. Mereka segera menghadap Rasulullah Saw dan meminta diadakan pertemuan pada hari Tasyrik di Mina.  Pada malam yang telah ditentukan, mereka keluar kemahnya secara  sembunyi-sembunyi  menuju  Aqabah  (tempat melempar jumrah).   Tidak lama  kemudian,  Rasulullah  Saw  datang  disertai  pamannya,  Abbas  bin  Abdul Muthalib yang waktu itu belum masuk Islam tetapi tidak pernah memusuhi Islam. Adapun isi dari perjanjian Aqabah II adalah :

a) Penduduk Yasrib siap membela Islam dan Rasulullah.

b) Penduduk  Yasrib ikut berjuang dalam membela Islam dengan harta dan jiwa.

c) Penduduk  Yasrib  ikut  berusaha  memajukan  agama  Islam  dan  menyiarkan kepada sanak keluarga mereka.

d) Penduduk Yasrib siap menerima resiko dan segala tantangan.

Sumber : Buku Siswa SKI Madarasah Aliyah KLas X (Uji Publik) Direktorat KKSK Madarasah 2019

Senin, 26 Juli 2021

Kebudayaan Masyarakat Makkah Sebelum Islam ( Klas 10 /Gasal /Pertemuan 1)

 A. Kebudayaan Masyarakat Makkah Sebelum Islam

Para ahli sejarah menyebut masa sebelum kehadiran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw sebagai masa jahiliyah. Secara bahasa masa jahiliyah berasal dari kata jahil, yang diturunkan dari kata dasar Arab jahala yang berarti bodoh.

Zaman jahiliyah ini terdiri atas dua periode yaitu jahiliyah periode pertama dan jahiliyah periode kedua. Jahiliyah periode pertama meliputi masa yang sangat panjang, tetapi tidak banyak yang bisa diketahui hal ihwalnya dan sudah lenyap sebagian masyarakat pendukungnya. Adapun jahiliyah periode kedua berlangsung kira-kira sekitar 150 tahun sebelum Islam lahir. Jahiliyah periode kedua inilah yang kita kenal hingga sekarang.

 Bangsa Arab sebelum Islam sudah mengenal dasar-dasar beberapa cabang ilmu pengetahuan, bahkan dalam hal seni sastra mereka telah mencapai tingkat kemajuan pesat. Negeri Arab adalah sebuah semenanjung di ujung barat daya benua Asia. Di sebelah utara  berbatasan dengan  Syam,  Palestina,  dan  al-Jazirah.  Di sebelah  selatan berbatasan dengan Teluk Aden dan Samudra India. Di sebelah timur berbatasan dengan Teluk Oman dan Teluk Persia; dan di sebelah barat berbatasan dengan Selat Bab Al- Mandib, Laut Merah dan Terusan Zues.

Keadaan Arab khususnya daerah Makkah terdiri atas gurun pasir yang panas dan gersang. Hal ini mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat Makkah sehingga tercermin dalam kehidupan sosial budaya mereka. Orang-orang Makkah dikenal sebagai bangsa pengembara yang nomaden. Mereka sering berpindah pindah dengan mengandalkan kendaraan yang berupa unta dan kuda.

Kebiasaan menggembara membuat orang-orang Arab Makkah senang hidup bebas tanpa aturan dan hukum  yang dapat mengikat mereka sehingga mereka menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Mereka senang hidup mengelompok yang tergabung dalam kabilah atau suku yang sangat banyak jumlahnya.

 Kekuatan, keperkasaan, keuletan dan keberanian merupakan modal utama untuk dapat bertahan di alam gurun pasir. Mereka tidak menyukai anak-anak wanita karena wanita dinilai makhluk lemah, tidak mampu berperang, dan tidak kuat melakukan pekerjaan     yang  berat.  Seakan    suatu  bencana  besar  dan  sebagai  aib  jika  tidak mempunyai anak laki-laki.

Namun, selain memiliki watak, perangai, dan perilaku keras, penduduk arab mempunyai jiwa seni sastra yang tinggi, terutama dalam bentuk syair dan sajak. Kepandaiannya dalam mengubah sajak atau syair merupakan kebanggaan orang Arab. Para penyair kenamaan sangat dikagumi dan dihormati.

Dari segi keyakinan, bangsa Arab pada masa jahiliyah terbagi menjadi beberapa golongan:

1. Golongan yang mengingkari Sang Pencipta dan hari kebangkitan. Mereka percaya bahwa alam, masa, dan waktulah yang membinasakan segalanya seperti yang termaktub dalam QS al.Jatsiyah [45] :24.

2. Golongan yang mengakui adanya Tuhan, tetapi walaupun mengakui adanya Tuhan, namun mengingkari adanya hari kebangkitan, seperti yang termaktub dalam QS al - Qaaf [50] :15.

3. Golongan  yang  menyembah  berhala,  biasanya  masing-masing  kabilah  memiliki berhala sendiri-sendiri. Kabilah Kalab di Daumatul Djandal misalnya, mereka mempunyai   berhala   Wad,   kabilah   Huzdail   mempunyai   berhala   Suwa’Kabilah Madzhaj dan kabilah-kabilah di Yaman semuanya menyembah Yaghuts dan Ya’uq, Kabilah Tsaqif di Thaif menyembah Latta, Kabilah Qurays di Kinanah menyembah Uzza.  Kabilah  Aus  dan  Khazraj  menyembah  Manat,  dan  sebagai  pemimpin  dari semua berhala adalah Hubal yang ditempatkan di samping sisi Ka’bah

4. Golongan  yang  lain  adalah  golongan  yang  cenderung  mengikuti  ajaran  Yahudi, Nasrani, dan Shabiah, ada pula yang menyembah malaikat atau jin.

Label jahiliyah yang diberikan kepada bangsa Arab pra Islam, bukan berarti tidak ada kebaikan sama sekali dalam kehidupan mereka. Bangsa Arab masih memiliki akhlak- akhak mulia dan budaya positif  yang menyejukkan dan menakjubkan akal manusia, Diantara perkembangan kebudayaan masyarakat Arab pra Islam:

1) Tradisi keilmuan

Bangsa Arab pra Islam telah mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, terbukti dengan   dikembangkannya   ilmu   astronomi   yang   ditemukan   oleh   orang-orang Babilonia. Ilmu Astronomi ini berkembang di Arab setelah bangsa Babilonia diserang

 oleh bangsa Persia kemudian mengenalkan ilmu astronomi ini kepada orang-orang Arab pada masa itu. Selain astronomi mereka juga pandai dalam ilmu nasab, ilmu rasi-rasi bintang, tanggal-tanggal kelahiran dan ta’bir mimpi.

2) Berdagang

Masyarakat Arab yang tinggal di perkotaan atau disebut ahlul-hadar, mereka hidup dengan berdagang.  Kehidupan sosial ekonominya sangat ditentukan oleh keahlian mereka dalam berdagang. Mereka melakukan perjalanan dagang dalam dua musim selama setahun, pada musim panas pergi ke Negeri Syam (Syiria) dan pada musim dingin mereka pergi ke negeri Yaman. Pada masa itu sudah berdiri sebuah pasar yang diberi  nama  pasar  Ukaz.  Pasar  Ukaz dibuka  pada  bulan-bulan  bertepatan  dengan waktu pelaksanaan ibadah haji, yaitu; bulan Dzulkaidah, Zulhijjah dan Muharam.

3) Bertani

Masyarakat Arab yang tinggal di pedalaman yaitu masyarakat Badui, mata pencahariannya adalah dengan bertani dan beternak. Kehidupan mereka nomaden, hidup mereka berpindah-pindah dari satu lembah ke lembah yang lain untuk mencari rumput bagi hewan mereka. Masyarakat yang hidup di daerah yang subur, mereka bercocok tanam dan hidup di sekitar oase seperti  Thaif. Mereka menanam buah-buahan dan sayur-sayuran.

4) Bersyair

Pasar Ukaz tidak hanya menyediakan barang dagangan berupa perniagaan dan kebutuhan sehari-hari saja, tetapi juga pagelaran kesenian seperti qashidah-qashidah gubahan sastrawan Arab. Syair menjadi salah satu budaya tingkat tinggi yang berkembang pada masa Arab pra Islam. syair juga dapat menjadikan seseorang atau kabilah tertentu menjadi kabilah terbelakang atau kabilah yang terhormat. Syair menjadi masalah mafakhir (kebanggaan) mereka dalam kehidupan sosialnya.

Selain bersyair, mereka juga terbiasa menuliskan kata-kata hikmah dalam setiap bangunan agung yang mereka dirikan untuk dijadikan peringatan dan diambil hikmahnya bagi generasi selanjutnya. Orang Arab saat itu berloba-lomba dan membanggakan sikap dermawan. Separuh syair-syair mereka diisi dengan pujian dan sanjungan terhadap kedermawanan

5) Menghormati Tamu

Kehidupan sosial bangsa Arab pra Islam terkenal pemberani dalam membela pendiriannya, mereka tidak mau mengubah pendirian yang sudah mengakar dalam kehidupan mereka. Salah satunya adalah menghormati dan memulaiakan tamu, menghormati tamu adalah bagian  dari  menjunjung  tinggi  sikap  dermawan  yang  mereka  miliki,  mereka berlomba-lomba untuk memuliakan tamu dengan segala harta benda meraka.

Bangsa Arab pra Islam rela untuk berkorban harta bendanya hanya untuk memuliakan tamu. Pernah ada seorang laki-laki yang kedatangan tamu di rumahnya, sementara dia tidak memiliki apa-apa selain onta yang menjadi tumpuan hidupnya. Ia rela menyembelih untanya hanya demi untuk menjamu tamunya.

6) Menepati Janji

Bagi  orang  Arab,  janji  adalah  hutang  yang harus mereka  bayar.  Melanggar  janji adalah aib bagi hidup mereka, bahkan dalam sebuah kisah Hani bin Mas’ud bin Mas’ud asy-Syaibani hanya demi sebuah janji mereka rela membinasakan keturunan mereka dan menghancurkan rumah demi memenuhi sebuah janji.


B.  Substansi dan Strategi Dakwah Rasulullah Saw Periode Makkah

Tatkala  Muhammad  telah  sampai  pada  usia  kesempurnaanya  yaitu  40  tahun, Allah Swt. menganugerahkan kepadanya kecenderungan berkhalwat atau menyendiri, agar ia menjauh dari hiruk-pikuk kehidupan jahiliyah untuk bertahannus (beribadah) kepada Allah Swt. Muhammad sering melakukan ‘Uzlah (mengasingkan diri) di Gua Hira dengan beribadah menurut agama Nabi Ibrahim a.s.

Dalam keadaan  bertahannus di Gua  Hira,  muncullah  seseorang   dan  berkata kepada  Muhammad  “bergembiralah  hai  Muhammad,  aku  adalah  Jibril,  dan  engkau adalah utusan Allah Swt untuk umat ini. Kejadian ini terjadi bertepatan pada tanggal 13

Ramadan tahun 13 sebelum Hijriyah atau bulan Juli tahun 610 Masehi. Malaikat Jibril berkata kepada Muhammad “bacalah” lalu Muhammad menjawab “aku tidak bisa membaca” demikian sampai tiga kali hingga malaikat jibril mendekap untuk ketiga kalinya dan akhirnya Muhammad mengucapkan q.s al-‘alaq ayat 1-5

  • 1.  Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,

2.  Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

3.  Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia,

4.  Yang mengajar (manusia) dengan pena.

5.  Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S.al-`Alaq 96:1-5)

Setelah kejadian di Gua Hira tersebut, bergegaslah Muhammad pulang menemui Khadijah istrinya dengan keadaan gemetar. Setelah menceritakan perihal malaikat Jibril, Khadijah mengajak Muhammad menemui Waraqah bin Naufal yang merupakan saudara sepupunya.  Waraqah  bin  Naufal  merupakan  pemeluk  Nasrani  yang  taat  dan  sangat menguasai bahasa Ibrani juga mengetahui perihal rasul-rasul di antara orang-orang yang telah   melihat   kitab-kitab   zaman   dahulu.   Muhammad   menceritakan   semua   yang dialaminya ketika berada di Gua Hira kepada Waraqah bin Naufal.

Demi mendengar penuturan Muhamad Waraqah mengatakah “ini adalah an- Namus (malaikat) yang pernah diturunkan kepada Nabi Musa a.s, Waraqah mengetahui bahwa utusan Allah Swt kepada para nabiNya tiada lain hanyalah Malaikat Jibril. Maka yakinlah Muhammad bahwa dia adalah manusia pilihan yang diutus Allah Swt. untuk menjadi rasul selanjutnya.

Setelah menerima wahyu pertama, Muhammad merasakan gundah gulana karena wahyu  selanjutnya  belum  juga  turun.  Masa  antara  turunnya  wahyu  pertama  dengan wahyu kedua sering disebut dengan masa fatrah. Dalam masa fatrah ini sekitar tiga puluh sampai empat puluh hari, ketika Rasulullah Saw sedang berjalan-jalan, tiba-tiba mendengar suara gemuruh dari langit.

Beliau  melihat  sosok  malaikat  Jibril sedang duduk  diantara langit  dan  bumi. Rasulullah Saw merasa ketakutan demi mengingat kejadian di Gua Hira. Bergegas beliau pulang ke rumah dengan meminta istrinya untuk menyelimutinya, “selimutilah diriku, selimutilah aku”.Kemudian Allah Swt menurunkan firmanNya QS. Al Mudatsir ayat 1-7.

Kemudian  Rasulullah  Saw  bangkit  mengerjakan  perintah  Allah  Swt  yaitu menyeru kaum yang berhati keras dan tidak beragama untuk menyembah Allah Swt. Tugas ini merupakan perkara yang berat dan besar.   Beliau harus berhadapan dengan berbagai  tantangan  dan  masalah,  antara lain  perombakan  sistem  kebudayaan,  sosial, kepercayaan penduduk Makkah dan meluruskan sistem sosial yang tidak adil.

 1.   Dakwah Sembunyi-Sembunyi

Rasulullah Saw   memulai dakwahnya secara sembunyi-sembunyi, menyeru manusia untuk beriman kepada Allah Swt, menganut agama Tauhid dan mengenalkan bahwa  Tuhan  itu  satu,  yaitu  Allah  Swt.  Dakwah  secara  sembunyi -sembunyi  ini dilakukan untuk menghindari munculnya gejolak yang sangat mungkin terjadi di kalangan masyarakat.  Beliau memulai dakwah kepada keluarga dan karib kerabatnya. Beliau mengetahui bahwa orang Quraisy sangat terikat, fanatik, dan kuat mempertahankan kepercayaan jahiliyyah.    Dakwah secara sembunyi-sembunyi berlangsung selama 3-4 tahun.

Empat tahun pertama merupakan masa Rasulullah Saw mempersiapkan diri, menghimpun kekuatan dan mencari pengikut setia.  Seiring dengan itu, wahyu yang turun pada masa itu secara umum bersifat mendidik, membimbing, membina, mengarahkan dan memantapkan hatin dalam rangka mewujudkan kesuksesan dakwahnya.  Rasulullah Saw dibekali dengan wahyu yang mengandung pengetahuan dasar mengenai sifat Allah Swt dan penjelasan mengenai dasar akhlak Islam.  Selain itu,  wahyu  saat  itu  sebagai  bantahan  secara  umum  tentang  pandangan  hidup masyarakat jahiliyyah yang berkembang saat itu.

Orang pertama yang menyatakan keislamannya (Assabiqunal Awwalun) adalah :

a. Khadijah (istrinya)

b. Ali bin Abi Thalib

c. Zaid bin Haritsah (anak angkatnya)

d. Abu Bakar (sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak)

e. Ummu Aiman (pengasuh beliau sejak masa kecil)

Melalui Abu Bakar, pengikut Rasulullah Saw bertambah, mereka adalah :

a. Abd Amar bin Auf (kemudian berganti nama menjadi Abdur Rahman bin  Auf)

b. Abu Ubaidah bin Jarrah c. Usman bin Affan

d. Zubair bin Awwam

e. Sa’ad bin Abi Waqqas

 f.  Arqam bin Abi Al Arqam g. Fathimah bin Khattab

h. Talhah bin Ubaidillah dan sebagainya.


2.   Dakwah Terang-terangan

Tiga tahun lamanya Rasulullah Saw berdakwah secara sembunyi -sembunyi di rumah sahabat Arqam bin Abi Al Arqam.   Penduduk Makkah banyak yang sudah mengetahui dan mulai membicarakan agama baru yang beliau bawa.   Mereka menganggap agama itu sangat bertentangan dengan agama nenek moyang mereka. Pada waktu itu turunlah wahyu yang memerintahkan kepada beliau untuk melakukan dakwah secara terbuka dengan terang-terangan kepada seluruh masyarakat.  Alah Swt berfirman dalam QS. Al Hijr ayat 94.

لَقَالُوْٓا اِنَّمَا سُكِّرَتْ اَبْصَارُنَا بَلْ نَحْنُ قَوْمٌ مَّسْحُوْرُوْنَ ࣖ 

15. tentulah mereka berkata, “Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang yang terkena sihir.”  

“Maka   sampaikanlah   (Muhammad)   secara   terang-terangan   segala   apa   yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang yang musyrik.” (QS. Al-Hijr15: 94)

Dengan turunnya ayat tersebut, Rasulullah Saw. mulai berdakwah secara terang- terangan.  Dakwah ini membuat seorang tokoh Bani Giffar yang tinggal di Barat Laut Merah menyatakan diri masuk Islam.   Ia adalah Abu Zar Al-Giffari.   Atas perintah Rasulullah Saw kemudian Abu Zar Al-Giffari pulang untuk berdakwah di kampungnya.   Sejak itulah banyak orang yang masuk  Islam berkat Abu  Zar  Al- Giffari.    Melalui cara itu pula, Bani Daus juga masuk Islam.  Orang pertama Bani Daus yang masuk Islam adalah Tufail bin Amr ad Dausi, seorang penyair terpandang di kabilahnya.  Dengan demikian, Islam mulai tersebar di luar Makkah.

Keberhasilan Rasulullah Saw dalam berdakwah mendorong kaum kafir Quraisy melancarkan tindakan kekerasan terhadap beliau dan pengikutnya.   Di tengah meningkatnya kekejaman pemimpin kafir Quraisy, Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab, dua orang kuat Quraisy masuk Islam.  Hal ini membuat kaum kafir Quraisy mengalami kesulitan untuk menghentikan dakwah Rasulullah Saw.

Suatu ketika, Rasulullah Saw melakukan dakwah secara terbuka di Bukit Shafa dengan memanggil semua suku yang ada di sekitar Makkah.  Untuk mengetahui apa yang akan disampaikan Muhammad, semua suku mengirimkan utusannya.   Bahkan Abu Lahab, paman beliau pun hadir bersama istrinya (Ummu Jamil).

Rasulullah Saw berseru, ”Jika saya katakan kepada kamu bahwa di sebelah bukit  ada  pasukan  berkuda  yang  akan  menyerangmu,  apakah  kalian  percaya?”. Mereka menjawab, ”Kami semua percaya, sebab kamu seorang yang jujur dan kami tidak pernah menemui kamu berdusta”.

Rasulullah Saw kemudian berseru kembali, ”Saya peringatkan kamu akan siksa di hari kiamat.   Allah Swt menyuruhku untuk mengajak kamu menyembah kepada Nya, yaitu Tuhanku dan Tuhanmu juga, yang menciptakan alam semesta termasuk yang kamu sembah.   Maka tinggalkanlah Latta, Uzza, Manat, Hubal dan berhala- berhala lain sesembahanmu”. Mendengar seruan tersebut Abu Lahab mencaci maki seraya  berkata, ”Hari ini kamu (Muhammad) celaka.  Apakah hanya untuk ini kamu mengumpulkan kami semua?”.

Selanjutnya Rasulullah Saw termenung sejenak memikirkan reaksi keras dari kaumnya yang menentang dakwahnya.   Kemudian, turun wahyu yang menerangkan bahwa yang celaka bukanlah beliau, tetapi Abu Lahab sendiri.

Setelah peristiwa di Bukit Shafa tersebut, para pemimpin Qurays bereaksi dengan melakukan sebagai berikut:

 a. Mendatangi Abu Thalib, paman yang mengasuh Rasulullah Saw.  Mereka meminta Abu  Thalib  untuk  mencegah  kegiatan  dakwah  yang  dilakukan  keponakannya, tetapi tidak berhasil.

b. Kaum kafir Quraisy mengutus Walid bin Mughirah dengan membawa seorang pemuda untuk ditukarkan dengan Muhammad Saw.   Mereka akan bangkit memerangi Rasulullah Saw.

Ancaman keras ini nampaknya berpengaruh pada diri Abu Thalib.   Lalu ia memanggil ponakannya untuk berhenti dari dakwahnya.  Namun, Rasulullah Saw tetap tegar dan menolak permintaan pamannya dengan berkata, “Demi Allah Swt, biarpun matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan menghentikan dakwah agama Allah Swt ini hingga agama ini menang atau aku binasa karenanya”.

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Rasulullah Saw meninggalkan Abu Thalib seraya menangis.   Abu Thalib memanggilnya kembali, seraya berkata, “Wahai anak saudaraku! Pergilah dan katakanlah apa  yang kamu kehendaki (dakwah). Demi Allah Swt, aku tidak akan menyerahkanmu kepada mereka selamanya”.

c. Mengutus Utbah bin Rabi’ah, seorang ahli retorika untuk membujuk Rasulullah Saw.  Mereka menawarkan tahta dan harta, asalkan beliau bersedia menghentikan dakwahnya.  Tawaran itu pun ditolak keras oleh Rasulullah Saw.

d. Melakukan  tindakan  kekerasan  secara  fisik  terhadap  orang  yang masuk  Islam.

Budak yang masuk Islam disiksa dengan kejam seperti Bilal bin Rabah, Amir bin Fuhairah at Tamimi, Ummu Ubais, an Nadhiyah serta anaknya, Al Mu’ammiliyah, dan Zinirah.  Zinirah disiksa hingga matanya buta, sedang Ummu Amar bin Yair binti Kubath, budak wanita Bani Makhzum disiksa sampai mati.  Bahkan Usman bin Affan pun pernah dikurung dan dipukuli dalam kamar gelap oleh saudaranya.

Tekanan-tekanan ini ternyata tidak membuat Islam dijauhi.   Sebaliknya, umat Islam semakin bertambah. Hal ini membuat Abu Jahal menekan kepada semua pemimpin Quraisy untuk melakukan pemboikotan kepada Bani Hasyim dan  Bani Muthalib.

Isi surat pemboikotan itu adalah sebagai berikut :

a. Muhammad dan kaum keluarga serta pengikutnya tidak diperbolehkan menikah dengan bangsa Arab Quraisy lainnya, baik laki-laki maupun perempuan.

b. Muhammad  dan  kaum  keluarga  serta  pengikutnya  tidak  boleh  mengadakan hubungan jual beli dengan kaum Quraisy lainnya.

 c. Muhammad  dan  kaum  keluarga  serta  pengikutnya  tidak  boleh  bergaul  dengan kaum Quraisy lainnya

d. Kaum Quraisy tidak dibenarkan membantu dan menolong Muhammad, keluarga ataupun pengikutnya.


Sumber : Buku Siswa SKI  X Madrasah Aliyah (Uji Publik) Direktorat KKSK Madrasah 2019