Selasa, 27 Juli 2021

Aliran Khawārij

1.   Sejarah  Khawārij

Istilah Khawārij   berasal dari Bahasa Arab “khawārij”, yang berarti mereka yang   keluar. Nama ini digunakan untuk memberikan atribut bagi pengikut Ali bin Abi Ṭālib     yang   keluar dari golongannya   dan kemudian membentuk kelompok sendiri.   Penamaan terhadap kelompok yang keluar dari pasukan Ali bin Abi Ṭālib bukanlah julukan  yang diberikan dari  luar kelompoknya saja, tetapi  mereka juga menamakan diri dengan sebutan   Khawārij   dengan pengertian orang-orang yang keluar pergi perang untuk menegakkan kebenaran. Penamaan ini diambilkan dari QS. An-Nisa’ (4): 100.

وَمَنۡ يُّهَاجِرۡ فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ يَجِدۡ فِى الۡاَرۡضِ مُرٰغَمًا كَثِيۡرًا وَّسَعَةً‌ ؕ وَمَنۡ يَّخۡرُجۡ مِنۡۢ بَيۡتِهٖ مُهَاجِرًا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوۡلِهٖ ثُمَّ يُدۡرِكۡهُ الۡمَوۡتُ فَقَدۡ وَقَعَ اَجۡرُهٗ عَلَى اللّٰهِ‌ ؕ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوۡرًا رَّحِيۡمًا

Artinya: Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi  ini  tempat  hijrah  yang  luas  dan  rezeki  yang  banyak.  Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul- Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’ [4]: 100.)

Nama lain Khawārij adalah   harūriyah yang dinisbahkan kepada perkataan harur, yaitu nama sebuah desa yang terletak di kota Kufah di Irak, dimana kaum Khawārij yang berjumlah 12.000 orang bertempat sesudah memisahkan diri dari pasukan Ali. Di sini mereka memilih Abdullāh   bin  Wahab al-Rasyidi menjadi imam sebagai ganti Ali bin  Abi Ṭālib.

Rekam jejak kaum Khawārij telah ada sejak zaman   Nabi Muhammad Saw. Diriwayatkan dari  sahabat Abu Sa’id al-Khudri ra, ia berkata: Ketika kami berada di sisi Rasulullah Saw. dan beliau sedang membagi-bagi (harta), datanglah Dzul Khuwaisirah dari Bani Tamim kepada beliau, ia berkata: “Wahai Rasulullah, berbuat adillah!” Rasulullah Saw. pun bersabda: “Celakalah engkau! Siapa lagi yang berbuat adil jika aku tidak berbuat adil? Benar-benar merugi jika aku tidak berbuat adil.”

Maka Umar bin Khaṭab ra. berkata: “Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku untuk memenggal lehernya!” Rasulullah berkata: “Biarkanlah ia, sesungguhnya ia akan mempunyai pengikut yang salah seorang dari kalian dinilai bahwa salat dan puasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan salat dan puasa mereka, mereka selalu membaca al-Qur’an namun tidaklah melewati kerongkongan mereka, mereka keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari ar-ramiyyah, dilihat nashl-nya (besi pada ujung anak panah) maka tidak didapati bekasnya. Kemudian dilihat rishaf- nya (tempat masuk nashl pada anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat dari nadhi-nya (batang anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat qudzadz-nya (bulu-bulu yang ada ada anak panah) maka tidak didapati pula bekasnya. Anak panah itu benar-benar dengan cepat melewati lambung dan darah hewan buruan. Ciri-cirinya: di tengah-tengan mereka; ada seorang laki-laki hitam, salah satu lengannya seperti payu dara wanita atau seperti daging yang bergoyang- goyang, mereka akan muncul di saat terjadi perpecahan di antara kaum muslimin.”

Timbul-tenggelamnya Khawārij juga dapat dilacak pada akhir masa pemerintahan Utsman bin Affan. Dr. Saleh bin Fauzan al-Fauzan menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang memberontak di akhir masa pemerintahan Utsman bin   Affan   yang   mengakibatkan   terbunuhnya   Utsman   bin   Affan”.   Setelah pemerintahan   dipegang oleh Ali bin Abi Ṭalib, mereka juga memberontak dengan dalih, pemerintahan Ali telah menyalahi hukum yang dibuat oleh Allah. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok Khawārij selalu memberontak kepada pemerintahan yang sah. Hal ini sesuai dengan salah satu doktrin politiknya, yaitu memberontak terhadap pemerintah dan memisahkan diri dari jama’ah muslimin merupakan bagian dari agama.

As-Sahrastani berkata: “Siapa saja yang keluar dari ketaatan terhadap pemimpin yang sah, yang telah disepakati, maka ia dinamakan khariji (seorang khawārij), baik keluarnya di masa sahabat terhadap al-Khulafa ar-Rasyidin atau kepada pemimpin setelah mereka di masa tabi’in, dan juga terhadap pemimpin kaum muslimin di setiap masa.”

Al-Imam an-Nawawi berkata: “Dinamakan Khawārij dikarenakan keluarnya mereka dari jama’ah kaum muslimin. Dikatakan pula karena keluarnya mereka dari jalan (manhaj) jamaah kaum muslimin, dan dikatakan pula karena sabda Rasulullah Saw. .: “Akan keluar dari diri orang ini…” (HR. Muslim)

2.   Sekte Khawārij dan doktrin ajarannya 

a.   Al-Muhakkimah

Sekte ini merupakan golongan Khawārij asli yang terdiri dari pengikut-

pengikut Ali yang kemudian membangkang. Nama al-Muhakkimah berasal dari semboyan mereka lā hukma illā lillāh ( menetapkan hukum itu hanyalah hak

Allah) yang merujuk kepada QS. Al- An’ām  (6): 57 berikut:

قُلْ اِنِّيْ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّيْ وَكَذَّبْتُمْ بِهٖۗ مَا عِنْدِيْ مَا تَسْتَعْجِلُوْنَ بِهٖۗ اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ ۗيَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِيْنَ

Artinya: Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang  paling baik". (QS.   Al- An’ām [6]: 57)


Mereka menolak   tahkīm karena dianggap bertentangan dengan perintah

Allah Swt. dalam QS.   al-Hujurât (49): 9 yang menyuruh memerangi kelompok pembangkang sampai mereka kembali ke jalan Allah Swt.

وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْۤءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ ۖفَاِنْ فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ 

Artinya: dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah  kamu  damaikan  antara  keduanya!  tapi  kalau  yang  satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. (QS.  Al-Hujurāt [49]: 9)

b.  Al-Azariqah

Sekte ini lahir sekitar tahun 60 H (akhir abad ke-7 M) di daerah perbatasan antara Irak dan Iran. Nama al-Azariqah dinisbahkan kepada pemimpinnya, yaitu Abi Rasyid Nafi’ bin al-Azraq. Sebagai khalifah, Nafi’ digelari amirul mukminin. Menurut al-Baghdadi, pengikut Nafi’ berjumlah lebih dari 20.000  orang.

Setiap orang Islam yang menolak ajaran al-Azariqah dianggap musyrik. Bahkan pengikut al-Azariqah yang tidak   berhijrah ke   dalam wilayahnya, juga dianggap musyrik. Menurut mereka, semua orang Islam yang musyrik boleh ditawan dan dibunuh, termasuk anak dan istri mereka. Berdasarkan prinsip ini, pengikut  al-Azariqah  banyak  melakukan  pembunuhan  terhadap  sesama  umat Islam yang berada di luar daerah mereka. Mereka memandang daerah mereka sebagai  dar  al-Islām  (negara  Islam),  di  luar  daerah  itu  dianggap  dar  al-kufr (daerah yang dikuasai/diperintah oleh orang kafir).

Al-Azariqah  mempunyai  sikap  yang lebih  radikal  dari  al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi menggunakan istilah kafir, tetapi istilah musyrik. Di dalam Islam, syirik merupakan dosa yang terbesar, lebih besar dari kufur.

Mereka juga mempunyai doktrin,  orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka adalah termasuk orang musyrik. Begitu juga pengikut al-Azariqah yang tidak mau hijrah kedalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik.

c.   An-Najdah

Pendiri sekte ini adalah Najdâh bin Amir al-Hanafi, penguasa daerah Yamamah.   Lahirnya kelompok ini sebagai reaksi terhadap pendapat Nafi’, pemimpin al-Azariqah yang mereka pandang terlalu ekstrem.

Paham teologi   an-Najdat yang terpenting adalah bahwa orang Islam yang tak sepaham dengan mereka dianggap kafir. Orang seperti ini menurut mereka akan masuk neraka dan kekal di dalamnya. Pengikut an-Najdâh sendiri tidak akan kekal dalam neraka walaupun melakukan dosa besar. Bagi mereka dosa kecil dapat meningkat menjadi dosa besar bila dikerjakan terus-menerus. Dalam perkembangan selanjutnya, sekte ini mengalami perpecahan. Beberapa tokoh penting dari sekte ini, seperti Abu Fudaik dan Rasyid at-Tawil, membentuk kelompok oposisi terhadap an-Najdâh yang berakhir dengan terbunuhnya Najdat pada tahun 69 H/688 M.

d.  Al-‘Ajaridiyah

Pendiri  sekte ini adalah Abdul Karīm bin Ajarad. Dibandingkan dengan al-Azariqah, doktrin teologi kaum al-Ajaridiyah jauh lebih moderat. Mereka berpendapat  bahwa  tidak  wajib  berhijrah  ke  wilayah  mereka  seperti  yang

 

diajarkan  Nafi’,  tidak  boleh  merampas  harta  dalam  peperangan  kecuali  harta orang yang mati terbunuh, dan tidak dianggap musyrik anak-anak yang masih kecil. Bagi mereka, al-Qur’an sebagai kitab suci tidak layak memuat cerita-cerita percintaan, seperti yang terkandung dalam surah Yusuf. Oleh karena itu, surah Yusuf dipandang bukan bagian dari Al-Qur’an.

e.   As-Sufriyah

Nama   as-Sufriyah   dinisbahkan   kepada   Ziad   bin   Ashfār.   Sekte   ini membawa paham yang mirip dengan paham al-Azariqah, hanya lebih lunak. Doktrin teologinya yang penting adalah istilah kufr atau kafir. Istilah kafir itu mengandung dua arti, yaitu kufr an-ni’mah (mengingkari nikmat Tuhan) dan kufr billāh (mengingkari Tuhan). Untuk arti pertama, kafir tidak berarti keluar dari Islam.

f.    Al-Ibadiyah.

Sekte ini dimunculkan oleh Abdullāh    bin Ibad al-Murri at-Tamimi pada tahun 686 M. Doktrin teologi yang terpenting antara lain bahwa orang Islam yang berdosa besar tidak dikatakan mukmin, melainkan muwahhid (orang yang dimaksud adalah kafir nikmat, yaitu tidak membuat pelakunya keluar dari agama Islam).

Selanjutnya, yang dipandang sebagai daerah dar at-tauhid (daerah yang dikuasai  orang–orang  Islam), tidak boleh diperangi. Harta yang boleh dirampas dalam perang hanya kuda dan alat perang. Sekte al-Ibadiyyah dianggap sebagai golongan yang paling moderat dalam aliran Khawārij.

Sumber : AKIDAH AKHLAK MA KELAS XI  Direktorat KSKK Madrasah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar